REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah menyebut ketegangan antara China dan Taiwan menimbulkan eskalasi baru konflik global. Adapun kondisi geopolitik ini memicu ketidakpastian global semakin meningkat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan konflik China dan Taiwan yang memanas masalah ekonomi yang sebelumnya sudah ada akibat pandemi Covid-19 dan perang Rusia vs Ukraina.
“Hadirnya Ketua DPR AS di Taiwan (menimbulkan) eskalasi yang luar biasa. Tentunya menimbulkan kemungkinan dari sisi keamanan namun juga dari sisi politik ekonomi,” ujarnya dilansir dari laman Kementerian Keuangan, Selasa (9/8/2022)
Sri Mulyani menyebut konflik geopolitik tersebut instrumen ekonomi menjadi instrumen perang. Contohnya sanksi ekonomi yang dijatuhkan negara-negara Barat ke Rusia. Sanksi tersebut, kata dia, tentu saja tidak hanya memberikan dampak dari sisi militer, tetapi dari sisi ekonomi dan keuangan negara.
Belum selesai dengan konflik kedua negara, Sri Mulyani mengingatkan konflik yang berpotensi muncul. Dia menilai eskalasi yang luas biasa kemungkinan dapat memberikan dampak, tak hanya dari sisi keamanan namun juga dari sisi politik dan ekonomi. "Dengan dunia memiliki geopolitik yang luar biasa besar, maka seluruh dunia merasa tidak aman," imbuhnya.
Ketidakamanan tersebut, menurut dia, dapat mengancam hubungan antar negara yang selama tiga dekade di bawah asumsi bahwa dunia akan saling berhubungan baik dari sisi perdagangan, investasi, lalu lintas manusia, lalu lintas modal, lalu lintas barang, dan lalu lintas informasi. "Ini semuanya sekarang di riset. Banyak dunia sekarang, masyarakat atau negara melakukan review terhadap hubungan antara negara," kata dia.
Dia menuturkan kondisi geopolitik yang penuh kompetisi dan potensi perang membuat semua negara semakin hati-hati. Tiap negara sekarang mencari hal-hal yang bisa meningkatkan ketahanan dari perekonomiannya masing-masing. "Artinya proteksionisme kemungkinan akan semakin besar, blok akan semakin menguat," katanya.
Menurutnya jika konflik antara negara ini terus berlangsung dan makin memanas, maka akan berdampak pada hubungan perdagangan dan investasi keduanya dengan banyak negara di dunia. Terlebih, kedua negara berpotensi perang seperti Rusia-Ukraina yang menyebabkan banyak negara mengamankan ketahanan ekonominya masing-masing. “Ini tentu membuat aksi proteksi di dunia makin menguat. Kondisi geopolitik yang penuh potensi perang membuat berbagai negara mencari ketahanan ekonomi masing-masing, proteksionisme akan makin besar, block menguat," kata dia.
"Artinya proteksionisme kemungkinan akan semakin besar, blok akan semakin menguat. Hubungan investasi perdagangan tidak lagi berdasarkan kepada flow of goods dan capital serta manusia yang bebas namun sudah diperhitungkan dari sisi aspek geopolitik," ucapnya.
Maka itu, Sri Mulyani menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dari 20 negara dengan perekonomian terbesar tidak boleh tidak paham terhadap konteks geopolitik yang berubah. Bahkan telah menjadi bagian dari anggota G20, artinya Indonesia masuk dalam 20 besar negara ekonomi terbesar di dunia. “Makanya, Indonesia harus melek terhadap kondisi global yang terjadi saat ini. Ini menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara yang tidak boleh tidak paham terhadap konteks geopolitik yang berubah," ucapnya.
Sementara itu Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menilai dampak konflik Tiongkok dengan Taiwan yang sedang berlangsung terhadap perekonomian Indonesia sejauh ini cukup terbatas atau kecil, namun keadaan tersebut tetap harus diwaspadai. "Sejauh ini memang belum terlihat ada dampak yang cukup signifikan, akan tetapi kita tetap harus waspada," ucapnya.
Dia menjelaskan ketegangan Taiwan dengan Tiongkok yang kini sedang berlangsung merupakan permasalahan geopolitik, sehingga jika dilihat dari segi perekonomian konflik tersebut memiliki risiko yang bersifat eksogen. Maka demikian, konflik kedua negara bersifat di luar kontrol perekonomian Indonesia dimana dampaknya diperkirakan berupa rambatan atau spillover terhadap ekonomi domestik.
Jika nantinya kondisi di sana memanas, Febrio mengaku akan terlebih dahulu mencermati potensi dampak konflik terhadap mobilitas perdagangan maupun pergerakan investasi. "Karena kami sudah melihat apa yang terjadi di Ukraina dan dampaknya sudah kita rasakan. Dengan begitu kami sudah harus mengubah dan menyiapkan kebijakan kami terkait dengan perang di Ukraina," ucapnya.
Dia pun berharap ke depannya segera terjadi redanya konflik, baik di Ukraina maupun kawasan Asia, agar pertumbuhan ekonomi global maupun regional tetap bisa terjaga. Dalam konteks ini, diplomasi ekonomi dinilai akan terus dikedepankan meski permasalahan geopolitik lebih dari sekedar masalah ekonomi. Namun diplomasi ekonomi harus bisa dilakukan lantaran dalam konflik geopolitik Rusia dan Ukraina sudah banyak negara yang terdampak, khususnya di negara miskin seperti Afrika.
Bahkan, lanjut Febrio, di dalam Presidensi G20, Indonesia sudah menyuarakan bagaimana banyak negara miskin sudah masuk ke dalam krisis pangan dan malnutrisi, sehingga mulai digaungkan suara-suara kemanusiaan supaya deeskalasi konflik semakin bisa terus diperjuangkan. "Hal yang sama tentunya kami harap juga terjadi dalam konteks kondisi yang memanas di Asia ini, sehingga harapannya kita bisa terus menjaga kondisi perekonomian global," ucapnya.