Senin 15 Aug 2022 14:13 WIB

DPR Didorong Segera Sahkan RUU KUHP

Selama penyusunan RUU KUHP pemerintah dinilai sudah banyak melaksanakan sosialisasi

Red: Agung Sasongko
DPR
Foto: istimewa
DPR

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinilai perlu segera disahkan untuk mengikuti pergeseran paradigma hukum pidana. Ruang bagi masyarakat menyampaikan masukan dinilai tetap terbuka.

Rencana pengesahan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi undang-undang yang sempat tertunda pada 2019 lalu mendapat dukungan dari berbagai kalangan.  Para pemuka agama, wakil rakyat, hingga pakar hukum menilai bangsa Indonesia membutuhkan hukum pidana baru yang  lebih sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. 

Baca Juga

RUU KUHP adalah salah satu RUU peninggalan DPR periode 2014-2019 yang batal disahkan pada hari-hari terakhir.  RUU ini sejatinya akan disetujui DPR pada rapat paripurna 2019.  Tapi saat itu, Presiden Joko Widodo meminta DPR menunda pengesahan RUU KUHP bersama 3 RUU lainnya, yakni RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Minerba karena menuai penolakan.

Sikap itu disampaikan Jokowi setelah menerima para pemimpin DPR, serta perwakilan fraksi dan komisi DPR di Istana Merdeka pada 23 September 2019. "Ditunda pengesahannya supaya  kami bisa mendapat masukan-masukan, maupun substansi yang lebih baik dan sesuai keinginan masyarakat," kata Jokowi kala itu.

Guru besar hukum  Benny Riyanto menyatakan, KUHP baru penting untuk mengikuti  pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana, yaitu dari paradigma keadilan retributif (balas dendam dengan penghukuman badan),  menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku), restoratif (bagi korban), dan rehabilitatif (bagi keduanya)

Mantan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM ini menuturkan,  tertundanya pengesahan RUU KUHP pada 2019 terjadi  lantaran protes terhadap minimnya pelibatan partisipasi publik dan beberapa pasal kontroversial. Menjawab protes publik, Benny memastikan selama penyusunan RUU KUHP pemerintah sudah banyak  melaksanakan sosialisasi ke berbagai ibu kota provinsi  melalui kegiatan diskusi dan seminar.   

“Pembentukan RUU KUHP  sudah memenuhi asas meaningful participation atau partisipasi yang bermakna,” kata dia dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/8/2022).

Partisipasi yang bermakna mencakup tiga unsur, yaitu  hak untuk didengar, hak untuk mendapat penjelasan, dan  hak untuk dipertimbangkan. Dia menyebut, beberapa rumusan norma dalam RUU KUHP telah pula mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil. Contohnya adalah rumusan norma dalam pasal tentang penodaan agama dan aborsi.

Selain itu, RUU KUHP juga memasukkan norma terkait tindak pidana khas Indonesia, misalkan  menyatakan diri memiliki kekuatan ghaib yang dapat mencelakakan orang lain. RUU KUHP juga mengakomodasi nilai-nilai budaya bangsa. 

Dalam RUU KUHP Pasal 477, contohnya, terjadi perluasan norma yang selaras dengan nilai-nilai  budaya bangsa, yaitu bahwa persetubuhan dengan anak di bawah umur 18 tahun, walaupun dengan persetujuan, dikategorikan perkosaan.

“Bahkan perbuatan cabul tertentu juga dianggap perkosaan. Tapi hal yang paling penting dalam RUU KUHP adalah memasukkan norma yang melindungi Pancasila,” kata dia  

Alhasil, Benny menyebutkan, berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut,  substansi RUU KUHP sudah sangat ideal sebagai basis norma hukum pidana nasional. “Maka perlu segera disahkan, mengingat anggota DPR pada tahun 2022 ini masa sidangnya tinggal dua kali lagi.”  

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Marcus Priyo Gunarto, mengatakan potensi perbedaan pendapat rumusan delik dalam RUU KUHP adalah hal yang wajar. “Tetapi jika kita bersedia melihat berbagai kepentingan yang ingin dilindungi dibalik rumusan delik yang telah digagas para guru besar hukum pidana sejak 1964, mungkin kita baru mengerti maksud dan tujuan dari rumusan delik tersebut,”kata dia

Dia menyarankan proses sosialisasi RKUHP mutlak diperlukan. “Bahkan setelah disahkan sebagai undang-undang sekalipun, penyuluhan hukum pidana baru tetap diperlukan,” kata Marcus.

Adapun Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Benny Riyanto, mengatakan RUU KUHP sengat ideal sebagai basis norma hukum pidana nasional. Dia mendorong DPR segera mengesahkan belied baru hukum pidana.

“Mengingat DPR pada 2022 menyisakan dua masa sidang,” kata dia.

Pemerintah, kata Benny, sudah melaksanakan meaningful participation. “Andaikata ada ketidakkelengkapan dari RUU KUHP masih tersedia mekanisme revisi undang-undang bahkan kalau ada norma yang dianggak keliru bisa melalui uji di Mahkamah Konstitusi,” tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement