REPUBLIKA.CO.ID, JACOBABAD -- Belum lama ini, kepala sekolah anak perempuan yang kurang beruntung di Jacobabad di Pakistan selatan Sara Khan tampak khawatir. Beberapa siswa pingsan karena panas pada Mei.
Sekarang setelah hujan muson yang lebat menenggelamkan sebagian besar negara itu, ruang kelasnya kebanjiran. Banyak dari 200 siswa kehilangan tempat tinggal, berjuang untuk mendapatkan makanan yang cukup dan merawat kerabat yang terluka.
Peristiwa cuaca ekstrem seperti itu dalam waktu singkat telah menyebabkan kekacauan di seluruh negeri. Membunuh ratusan orang, memutus komunitas, menghancurkan rumah dan infrastruktur, serta meningkatkan kekhawatiran akan kesehatan dan ketahanan pangan.
Jacobabad tidak terhindar. Pada Mei, suhu mencapai 50 Celcius menjadi kota ini terpanas di dunia, mengeringkan dasar kanal, dan menyebabkan beberapa penduduk pingsan karena sengatan panas. Saat ini, sebagian kota terendam air, meskipun banjir telah surut dari puncaknya.
Lingkungan Khan di timur kota, rumah-rumah rusak parah. Dia mengaku mendengar tangisan dari rumah tetangga ketika atap runtuh karena kerusakan air, menewaskan putranya yang berusia sembilan tahun.
Banyak murid Khan tidak mungkin kembali ke sekolah selama berbulan-bulan. Padahal mereka juga telah kehilangan waktu di kelas selama gelombang panas musim panas yang brutal.
"Jacobabad adalah kota terpanas di dunia, ada begitu banyak tantangan ... sebelum orang terkena sengatan panas, sekarang orang kehilangan rumah, hampir semuanya (dalam banjir), mereka menjadi tunawisma," kata Khan.
Sebanyak 19 orang di kota berpenduduk sekitar 200.000 itu dipastikan meninggal dunia dalam banjir, termasuk anak-anak. Sementara rumah sakit setempat melaporkan lebih banyak lagi yang sakit atau terluka.
Lebih dari 40.000 orang tinggal di tempat penampungan sementara, sebagian besar di sekolah yang padat dengan akses makanan yang terbatas. Salah satu pengungsi Dur Bibi berusia 40 tahun sedang duduk di bawah tenda di halaman sekolah. Dia mengingat saat melarikan diri ketika air memancar ke rumahnya semalam akhir pekan lalu.
"Saya meraih anak-anak saya dan bergegas keluar rumah dengan telanjang kaki," katanya.
Bibi satu-satunya yang mereka punya waktu untuk dibawa adalah Alquran. Empat hari kemudian, dia belum bisa mendapatkan obat untuk putrinya yang menderita demam.
"Saya tidak punya apa-apa selain anak-anak ini. Semua barang-barang di rumah saya hanyut," katanya.
Tingkat kekacauan di Jacobabad menunjukkan beberapa tantangan yang dapat ditimbulkan oleh peristiwa cuaca ekstrem yang terkait dengan perubahan iklim. “Manifestasi dari perubahan iklim adalah kejadian cuaca ekstrem yang lebih sering dan lebih intens, dan inilah yang telah kita saksikan di Jacobabad serta di tempat lain secara global selama beberapa bulan terakhir,” kata kepala Centre for Climate Research and Development di Universitas COMSATS Islamabad Athar Hussain.