REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan kepala Bappenas yang juga Lead Co-Chairs T20 Indonesia Bambang Brodjonegoro menyebut sebaiknya pemerintah Indonesia mulai mengurangi subsidi untuk energi berbahan bakar fosil dan mengalihkannya pada subsidi untuk energi Baru dan Terbarukan (EBT).
"Subsidi tidak perlu dihilangkan cuma harus lebih diarahkan. Kalau kita bikin subsidi energi terbarukan, bunyinya ke internasional juga bagus karena selama kita dikritik karena kurang memberikan insentif untuk EBT," kata Bambang dalam sesi wawancara bersama wartawan di Nusa Dua, Bali, Selasa (6/9/2022).
Dengan mensubsidi EBT, ia meyakini akan lebih banyak investor yang berani menginvestasikan dananya untuk proyek-proyek EBT. Pasalnya, subsidi dapat membuat harga EBT lebih murah dan dapat dijangkau oleh masyarakat sehingga investor meyakini produk yang dihasilkan dapat terserap.
Sebelumnya pemerintah mengatakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) bisa mencapai Rp 698 triliun hingga akhir tahun 2022 apabila harga BBM tidak naik. Menurut Bambang, apabila senilai Rp 500 triliun diinvestasikan oleh pemerintah untuk EBT, hasilnya akan lebih cepat mencapai target tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
"Jumlahnya tidak harus Rp 500 triliun, bisa separuhnya saja. Subsidi senilai itu saja sudah besar daripada penyaluran insentif perpajakan bagi penggunaan EBT yang rumit dan berpotensi ditolak oleh otoritas pajak," ucapnya.
Adapun menurutnya pembiayaan proyek transisi energi dapat dikumpulkan dari dana komersial, konsesional, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan gabungan dari keseluruhannya. Bambang menyebutkan Rockefeller Foundation sebelumnya telah berkomitmen untuk berinvestasi membangun pembangkit listrik bersumber EBT di 8 sampai 10 wilayah di Indonesia dalam jangka panjang, tetapi ia belum mengetahui berapa besar nilainya.
"Itu untuk EBT yang bersifat off grid atau berada di tempat-tempat yang tidak terjangkau transmisi PLN, misalnya di perkebunan. Pendanaannya dilakukan di wilayah seperti ini karena mereka khawatir harga listrik mereka tidak bisa bersaing dengan PLTU batu bara di wilayah on grid," ucapnya.