REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, menjelaskan tentang kelanjutan proyek pesawat udara nirawak (PUNA) Elang Hitam. Menurut dia, BRIN melakukan pemfokusan ulang program PUNA dari yang sebelumnya untuk tujuan kombatan menjadi tujuan sipil atau intelligence, surveillance, and reconnaissance (ISR).
"Informasi yang beredar tidak benar. Karena program PUNA dilakukan refocusing untuk tujuan sipil dan bukan kombatan. Ini dilakukan pascaevaluasi dan audit mendalam pascakegagalan terbang pada Desember 2021 dan berbagai masalah teknis lain terkait mitra pemilik teknologi kunci," jelas Handoko kepada Republika, Ahad (18/9/2022).
Lebih lanjut dia menjelaskan, program PUNA jenis medium altitude long endurance (MALE) untuk kombatan itu terdapat beberapa masalah teknis serta desain secara keseluruhan. Pengembangan Elang Hitam, kata dia, menggunakan komponen eksisting dari mitra luar negeri, terutama teknologi kunci berupa "mission system". Tapi mitra luar negeri itu dia sebut tidak memiliki jam terbang membuat teknologi itu dalam skala besar.
"Apabila skema pengemangan ini dilanjutkan, kami membayar mitra luar negeri tersebut dan mereka memasang teknologinya di Indonesia. Namun, mereka juga tidak mau sistem teknologi kunci tersebut dbuka oleh periset BRIN. Ini sama saja BRIN memberikan anggaran untuk riset dan pengembangan mereka yang nilainya hampir Rp 120 miliar," jelas dia.
Hingga akhirnya, kata Handoko, pihaknya memutuskan riset untuk teknologi kunci harus diperkuat agar mendapatkan hak atas kepemilikan atau property rights. Hal itu dilakukan agar Indonesia tidak hanya bisa membuat teknologi, tetapi juga bisa mengembangkan riset yang kompetitif dan ada diferensiasi.
"Kami sudah melaporkan dan mendiskusikan hal ini dengan tim Menteri Koordinator Perekonomian sebagai penanggung jawab Program Strategis Nasional (PSN)," kata Handoko.