REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Usai pemimpin-pemimpin pro-Rusia di wilayah Ukraina mengumumkan referendum untuk bergabung dengan Rusia. Kremlin menjadikan referendum itu sebagai ancaman pada Barat untuk menerima wilayah Rusia atau menghadapi perang skala besar.
"Pelanggaran batas wilayah Rusia merupakan kejahatan yang mengizinkan anda untuk menggunakan semua kekuatan untuk membela diri," kata mantan Presiden dan kini Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, Dmitry Medvedev di media sosial, Selasa (21/9/2022).
Dengan membangkai ulang pertempuran di wilayah pendudukan sebagai serangan pada Rusia maka Moskow dapat membenarkan pengerahan 2 juta pasukan cadangan. Sejauh ini Moskow masih tidak mengambil langkah tersebut meski mengalami banyak kekalahan di Ukraina.
Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) Jake Sullivan mengatakan Washington mengetahui Presiden Vladimir Putin mungkin mempertimbangkan mobilisasi massal tersebut. Sullivan mengatakan hal itu tidak akan membahayakan kemampuan Ukraina memukul mundur agresi Rusia.
Ia menambahkan Washington menolak referendum yang dilakukan "secara sepihak." Rusia sudah menganggap wilayah Donbas yang terdiri dari Luhansk dan Donetsk merupakan negara merdeka. Ukraina dan Barat menganggap semua wilayah Ukraina yang dikuasai pasukan Rusia merupakan wilayah yang diduduki dengan ilegal.
Kini Rusia mengusai sekitar 60 persen Donetsk dan pada sudah menguasai hampir seluruh Luhansk pada Juli lalu. Setelah mencapai kemajuan lambat selama berbulan-bulan dalam pertempuran yang intensif.
Kini kemajuan itu sedang terancam setelah pasukan Rusia didorong mundur dari Provinsi Kharkiv bulan ini. Pasukan Rusia kehilangan jalur pasokan utamanya untuk medan pertempuran di garis depan Donetsk dan Luhansk.