REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Diantara tujuan diutusnya Rasulullah SAW adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Akhlak berasal dari kata khuluq artinya tingkah laku, perangai atau tabiat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) akhlak berarti budi pekerti, kelakuan. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath Thusi asy Syafi'i atau lebih dikenal sebagai Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin Jilid III menyebutkan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam pada diri manusia yang melahirkan perbuatan atau tindakan dengan mudah tanpa membutuhkan pertimbangan.
Bila yang lahir adalah perbuatan terpuji dan baik berdasarkan akal dan hukum disebut akhlak mulia (akhlak karimah) atau akhlak yang terpuji (akhlak mahmudah) atau juga akhlak yang baik (akhlak hasanah). Sedangkan bila yang lahir adalah perbuatan buruk maka disebut akhlak tercela (akhlak sayyiah) atau akhlak yang buruk (akhlak mazmumah).
Berdasarkan hubungannya, Imam Ghazali juga menyebutkan akhlak manusia terbagi menjadi dua hubungan. Yakni akhlak manusia sebagai hamba kepada khaliq (hablun minallah) dan akhlak manusia kepada sesama makhluk (hablun minannas). Diantara akhlak kepada Allah adalah ketika seorang hamba ta'at pada setiap perintah Allah dan menjauhi setiap laranganNya, menerima setiap ketentuan Allah, bersyukur atas nikat yang didapat dan lain sebagainya. Para ulama juga menyebutkan bahwa akhlak adalah pancaran dari kualitas akidah dan pengamalan syariat. Karenanya akhlak merupakan salah satu inti dalam ajaran agama Islam.
Akhlak juga sangat penting dalam mencapai keberhasilan menjalani kehidupan sosial. Seseorang yang menginginkan kesuksesan dalam menjalin hubungan sosial harus memiliki akhlak yang baik dan dapat diterima oleh lingkungannya. Sebagaimana disebutkan Imam Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad bahwa akhlak yang baik kepada manusia (lingkungan sosial) adalah tidak menuntut atau memaksakan kehendak diri, tetapi menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial selama tak bertentangan dengan syariat.
Artinya bagian dari akhlak sosial ketika seseorang dapat membaca dan menyesuaikan dengan kebiasaan atau budaya di lingkungannya selama tak bertentangan dengan ajaran agama. Karenanya Sykeh Nawawi al Bantani dalam Syarah Sulam Taufiq juga menyebutkan bawah berakhlak yang baik kepada sesama manusia itu mengikuti tradisi dalam segala hal selama bukan kemaksiatan.
Saking pentingnya akhlak sampai Syekh Muhammad Sakir dalam kitab Washaya Al-Abaa' Lil Abnaa' pada bagian pertama ketika menjelaskan tentang nasihat guru kepada muridnya menuliskan bahwa bila seseorang tak menghiasi ilmu dengan akhlak yang mulia maka ilmu yang dimilikinya akan membahayakannya dari pada kebodohannya. Sebab orang bodoh dimaafkan karena kebodohannya. Sedangkan tidak ada maaf bagi orang alim dihadapan manusia bila tak menghiasi diri dengan akhlak baik. Karena itu dalam kitab akhlak lil banin Syeikh Umar bin Ahmad Baradja menegaskan pentingnya menanamkan akhlak yang mulia sejak kecil dan menjauhkan dari akhlak tercela. Sehingga kelak saat dewasa menjadi orang yang mulia dalam pandangan Allah dan manusia.
Anggota Asosiasi Psikolog Islam (API), Ahmad Yasser Mansur mengatakan akhlak merupakan nilai pada seseorang. Tetapi pada saat yang sama akhlak juga dapat berupa nilai kolektif dalam sebuah lingkungan sosial seperti di lingkungan masyarakat atau pun dunia kerja.
Ahmad menjelaskan akhlak mulia bisa mencegah terjadinya tindakan korup dilingkungan sosial atau tempat kerja. Sebab akhlak mulia ibarat pohon yang baik (syaharoh thoyyibah) yang memiliki akar kuat yakni iman di kalbu dan senantiasa dipandu oleh ibadah sebagai syariat. Psikodinamika yang terjadi melahirkan kepribadian dan bentuk perilakunya. Perilaku itu dapat menjadi baik karena ada kontrol diri self control atau muroqobah dalam diri sehingga seseorang dapat menahan dirinya dari perilaku buruk. Sebaliknya akhlak tercela seperti pohon yang buruk (syajaroh khobitsah) yang dapat dengan mudah terpengaruh dengan berbagai penyakit atau keburukan.
"Secara sosial akhlak yang baik itu membangun budaya kerja bersama, kultur spiritual atau spiritual company. Ada dua syarat utama keberhasilan lingkungan sosial, organisasi, tempat kerja. Yaitu jika pimpinan dan karyawan (masyarakat) memiliki qowiyyun amien yaitu profesional dan dapat dipercaya. Dua ini tak dapat terpisahkan terutama dalam dunia kerja," kata Ahmad Yaseer.
Ia mengatakan akhlak yang utama adalah amanah atau kejujuran atau dapat dipercaya Ini sangat dibutuhkan dalam dunia kerja maupun dalam menjalani kehidupan berbangsa. Untuk membangun akhlak mulia di lingkungan sosial khususnya lingkungan kerja maka menurut Yaseer nilai yang baik perlu diperlihatkan atau dicontohkan dengan prilaku nyata oleh tokoh masyarakat atau pemimpin di perusahaan yang kemudian diikuti oleh karyawan.
"Ada uswah hasanah dari pemimpin. Pemimpin harus memiliki syajaroh thoyyibah yang melahirkan akhlak yang baik. Banyak organisasi dengan model spiritual company yang dapat bertahan lama dan sukses," katanya