Sabtu 24 Sep 2022 05:20 WIB

Etika Muslim dalam Menggunakan Medsos

Medsos harus digunakan dengan bijak oleh Muslim.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
 Etika Muslim dalam Menggunakan Medsos. Foto:  Ancaman dan propaganda di media sosial. Ilustrasi
Foto: Republika/Thoudy Badai
Etika Muslim dalam Menggunakan Medsos. Foto: Ancaman dan propaganda di media sosial. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Menggunakan media sosial (medsos) tidak boleh luput dari etika. Setiap warganet perlu mempertimbangkan banyak hal sebelum mengunggah sesuatu di medsos. Ketika masyarakat memiliki kesadaran ini, akan tercipta iklim yang sehat di jagat maya.

Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Abdul Muiz Ali menyampaikan, media sosial dapat digunakan sebagai sarana untuk menjalin silaturahmi, menyebarkan informasi, dakwah, pendidikan, rekreasi, dan untuk kegiatan positif di bidang agama, politik, ekonomi, dan sosial serta budaya.

Baca Juga

Setiap muslim yang bermuamalah melalui medsos, terang Kiai Muiz, wajib memperhatikan beberapa hal. "Misalnya mempererat persaudaraan, baik persaudaraan keislaman, persaudaraan kebangsaan maupun persaudaraan kemanusiaan," kata dia kepada Republika.

MUI telah mengeluarkan fatwa nomor 24 tahun 2017 tentang hukum dan panduan bermuamalah melalui media sosial. Kiai Muiz menjelaskan, fatwa tersebut menyampaikan bahwa dalam bermuamalah melalui medsos, setiap Muslim wajib memperkokoh kerukunan baik intern umat beragama, antarumat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah.

Kiai Muiz melanjutkan, setiap muslim yang bermuamalah melalui medsos juga diharamkan melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan. Selain itu, haram melakukan perundungan, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan. Termasuk haram menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar'i.

Dia juga mengingatkan setiap Muslim agar selektif saat menerima berita. Alquran mengajarkan untuk berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan informasi. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6. Dalam hadits juga disebutkan, "Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta apabila dia mengatakan semua yang didengar." (HR Muslim)

Seorang Muslim juga tidak boleh mudah membagikan suatu kabar atau berita. Kiai Muiz memaparkan, saat mendapat berita, jangan tergesa-tergesa langsung membagikannya atau menyebarkan ke orang lain sebelum memastikan terlebih dahulu kebenaran berita tersebut. Sikap tergesa-tergesa menyebarkan berita berpotensi menjadi bagian dari penyebar berita bohong.

Postingan yang tidak bermanfaat, jelas Kiai Muiz, juga harus dihapus. "Jangan habiskan kuota internet dan energi kita dengan melakukan atau menyimpan apalagi menyebarkan berita, gambar, video yang tidak memberikan manfaat kepada kita dan orang lain," terangnya.

Dosen Markaz Ilmu Syariah dan Bahasa Arab (MISBA) Tangerang, Ustadz Muhammad Azizan Syahrial menyampaikan soal bagaimana sikap seorang Muslim dalam menyikapi berbagai hal yang mengandung kemaksiatan di dalam sebuah grup medsos. Dia menerangkan, jika di dalam sebuah grup medsos terdapat hal-hal yang mengandung kemaksiatan, seperti saling mencela, ghibah, menjadikan perkara agama sebagai bahan olok-olok, dan semacamnya, maka ada dua hal yang bisa dilakukan.

Pertama, menegakkan nahi munkar di dalam grup tersebut. Rasulullah SAW bersabda, "Siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu hendaklah ia mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu hendaklah ia mengubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah." (HR Muslim)

Kedua, meninggalkan grup itu. Allah SWT berfirman, "Dan Jika engkau (wahai Muhammad) melihat orang-orang mengolok-olok ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain..." (QS Al-An'am ayat 68)

Ustadz Azizan menambahkan, seorang Muslim dalam menggunakan medsos juga perlu menghindari perdebatan yang dapat mengeraskan hati. Rasulullah SAW bersabda, "Aku menjamin sebuah rumah di tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat kusir walaupun ia benar."

Merujuk Surah An-Nahl ayat 125, tutur Ustadz Azizan, perdebatan yang baik adalah yang dibangun di atas ilmu, tidak tempramental, tidak mengeluarkan cacian, makian atau semacamnya, menjaga kelembutan dan kesantunan ketika bicara, dan tidak bertujuan saling menjatuhkan lawan debat. "Akan tetapi (dalam perdebatan itu) menyampaikan kebenaran dan mengajak kepada kebenaran," terangnya.

Sementara itu, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Bandung, Roni Tabroni mengungkapkan, secara umum, masyarakat saat ini melompat dari budaya menonton ke budaya tutur. Namun mereka belum menjadi menjadi pembaca yang baik sehingga ketika muncul media dengan segala fitur canggihnya, maka yang berkembang adalah budaya menonton dan bertutur.

"Apa yang dituliskan dan dibagikan di media sosial merupakan representasi dari budaya tutur itu. Ketiadaan budaya membaca dan menulis, menggiring masyarakat kita lebih instan dalam menerima informasi dan menyampaikan atau membagikan informasi," jelasnya.

Padahal, menurut Roni, seandainya masyarakat memasuki budaya baca, mereka akan menyampaikan segala sesuatu kepada orang lain dengan pertimbangan yang matang. Sebab di dalam budaya baca tersimpan aktivitas tambahan yaitu analisis.

Secara umum, Roni mengatakan, penggunaan medsos oleh masyarakat di Indonesia belum sepenuhnya baik. Karena masih banyak konten-konten yang diproduksi oleh individu atau komunitas yang cenderung negatif, membahayakan dan merugikan pihak lain. Namun dia meyakini, seiring meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, cara bermedsos masyarakat akan semakin baik. "Cara mencari informasi, mengolah dan menyampaikan informasi akan semakin bijak," ujarnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement