Ahad 02 Oct 2022 14:13 WIB

Perlakuan tak Manusiawi Aparat, Teka-Teki Jam Tanding, dan Mengapa Ada Gas Air Mata?

Sedikitnya 129 orang meninggal dalam tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan.

Rep: Wilda Fizriyani, Fauziah Mursid, Dadang Kurnia/ Red: Mas Alamil Huda
Foto tangkapan layar twitter suasana tribun penonton yang tersaput asap gas air mata7d8 Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10). 129 penonton tewas akibat sesak nafas dan terinjak massa pada kerusuhan ini.
Foto: Tangkapan layar
Foto tangkapan layar twitter suasana tribun penonton yang tersaput asap gas air mata7d8 Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10). 129 penonton tewas akibat sesak nafas dan terinjak massa pada kerusuhan ini.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Meninggalnya ratusan orang dalam sebuah pertandingan sepak bola adalah tragedi besar. Peristiwa di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (1/10/2022) malam hingga Ahad (2/10/2022) adalah sebuah kisah pilu yang akan menjadi catatan kelam dalam sejarah sepak bola dunia. 

Gas air mata yang ditembakkan aparat ke arah penonton hingga jam tanding menjadi teka-teki tersendiri. Berdasarkan pedoman 'FIFA Stadium Safety and Security Regulation' Pasal 19 poin B, disebutkan tidak boleh sama sekali penggunaan senjata api dan gas air mata untuk pengendalian massa. Lantas, aturan yang begitu jelas apakah tidak menjadi standar pengamanan dalam sebuah pertandingan sepak bola di Tanah Air?

Baca Juga

Kapolda Jatim, Irjen Nico Afinta mengatakan, permasalahan mulai terjadi pada saat selesai pertandingan kurang lebih pukul 22.00 WIB. Banyak Aremania yang kecewa karena tim kesayangannya kalah dengan Persebaya Surabaya. Dalam laga itu, Arema kalah 0-2 dari tim tamu.

Menurut Nico, rasa kecewa tersebut ternyata menggerakkan penonton turun ke tengah lapangan. Mereka berusaha mencari para pemain dan official untuk menanyakan kekalahan tersebut. Situasi ini pun menyebabkan para suporter melampiaskan amarahnya akibat kekecewaan ini.

Melihat situasi tersebut, tim gabungan pengamanan melakukan upaya-upaya pencegahan. Pada proses itu, tim melepaskan gas air mata untuk melakukan upaya pencegahan. "Kalau sampai anarkis, akhirnya diberikan gas air mata. Mereka pergi ke luar ke satu titik begitu keluar. Kalau tidak salah pintu 10 atau 11 terjadi penumpukan," kata dia di Malang, Ahad (2/10/2022).

Proses penumpukan tersebut menyebabkan suporter mengalami sesak napas dan kekurangan oksigen. Hal inilah yang membuat banyak suporter meninggal dunia.

Jam pertandingan yang dimulai pukul 20.00 WIB juga menjadi sorotan banyak pihak. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut aparat keamanan telah mengusulkan ke panitia penyelenggara (panpel) agar pertandingan tak digelar malam hari. Namun, hingga hari pelaksanaan, usul itu ternyata tidak digubris.

"Misal, pertandingan agar dilaksanakan sore (bukan malam), jumlah penonton agar disesuaikan dengan kapasitas stadion, yakni 38 ribu orang, tapi usul-usul itu tidak dilakukan oleh panitia pelaksana yang tampak sangat bersemangat. Pertandingan tetap dilangsungkan malam, dan tiket yang dicetak jumlahnya 42 ribu," ujar Mahfud.

Dalam dokumen yang beredar, Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat melayangkan surat kepada Panpel Arema FC terkait perubahan jam tanding Arema vs Persebaya. Pertandingan yang semula dijadwalkan pukul 20.00 WIB, diusulkan untuk diubah menjadi pukul 15.30 WIB. Surat yang ditandatangani AKBP Ferli tersebut tertanggal 13 September 2022.

Manajemen Arema FC turut buka suara terkait tragedi pilu yang menelan ratusan korban jiwa ini. Namun, panpel tidak menjawab persoalan yang terkait pelaksanaan pertandingan. Manajemen hanya menyatakan bertanggung jawab terkait penanganan korban.

"Arema FC menyampaikan duka mendalam atas musibah di Kanjuruhan. Manajemen Arema FC turut bertanggung jawab untuk penanganan korban baik yang telah meninggal dunia dan yang luka-luka," kata Ketua Panitia Penyelenggara (Panpel) Arema FC, Abdul Haris.

 

Dipukuli aparat

Muhammad Riandi Cahyono merupakan salah satu Aremania yang turut menjadi korban dalam tragedi tersebut. Dia dan kekasihnya sengaja menyaksikan pertandingan tersebut dengan mengendarai motor dari Blitar. "Sekarang saya tidak tahu di mana pacar saya, belum ketemu sampai sekarang," ucap pria yang berusia 22 tahun tersebut di RSUD Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Ahad (2/10/2022).

Pada saat kejadian, Riandi tak menampik ikut turun ke lapangan bersama Aremania lainnya. Hal ini semata-mata untuk menyampaikan protesnya karena Arema FC kalah dengan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan.

Bukannya respons positif, Riandi justru mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan banyak Aremania yang dipukul oleh petugas sehingga membuatnya sedih dan kecewa. Ditambah lagi, petugas melakukan penembakan gas air mata ke suporter.

Berdasarkan pengamatan Riandi, gas air mata ditembak ke arah dekat papan skor. Tak hanya di area stadion, gas mata juga ditembakkan di luar stadion. Situasi ini menyebabkan banyak suporter sesak napas hingga jatuh kesakitan.

Saat ini, Riandi mengaku sudah tidak merasakan sesak napas kembali. Yang tersisa hanya sakit yang dirasakan sekujur tubuhnya. Hal ini terutama bagian tangannya yang mengalami patah tulang.

Tak hanya Riandi, Novandra Zulkarnain (20 tahun) dan Aldita Putri juga turut menjadi korban. Keduanya sama-sama ikut terinjak sehingga menyebabkan mereka mengalami luka ringan saat tragedi tersebut terjadi. Hal ini bisa terjadi lantaran mereka panik saat gas air mata ditembakan ke arah suporter.

Kadiv Advokasi LBH Surabaya, Habibus Shalihin, mengecam kekerasan yang diduga dilakukan aparat dengan memukul dan menendang suporter yang ada di lapangan dalam peristiwa kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang. Bahkan, kata dia, dalam rekaman video yang diterimanya, ketika suporter makin banyak yang turun ke lapangan, aparat justru melakukan penembakan gas air mata ke tribun yang masih dipenuhi penonton. 

"Kami menduga bahwa penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use force) melalui penggunaan gas air mata dan pengendalian masa yang tidak sesuai prosedur menjadi penyebab banyaknya korban jiwa yang berjatuhan," kata Habibus, Ahad (2/9).

Habibus menjelaskan, penggunaan gas air mata yang tidak sesuai dengan prosedur pengendalian massa mengakibatkan suporter di tribun berdesak-desakan mencari pintu keluar, sesak napas, pingsan, dan saling bertabrakan. Hal tersebut diperparah dengan kelebihan kapasitas stadion pada pertandingan big match tersebut.

Habibus mengingatkan, penggunaan gas air mata dalam pengendalian massa di stadion sudah dilarang oleh FIFA. FIFA dalam 'Stadium Safety and Security Regulation' Pasal 19 menegaskan, penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion.

Tindakan aparat dalam kejadian tersebut juga disebutnya bertentangan dengan beberapa peraturan. Seperti Perkapolri Nomor 16 tahun 2006 tentang Pedoman pengendalian massa; Perkapolri Nomor 01 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian; Perkapolri Nomor 08 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI; Perkapolri Nomor 08 tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru-hara; dan Perkapolri Nomor 02 tahun 2019 tentang Pengendalian Huru-hara.

"Maka, kami menilai bahwa penanganan aparat dalam mengendalikan masa berpotensi terhadap dugaan pelanggaran HAM dengan meninggalnya ratusan korban jiwa dan ratusan lainnya luka-luka," ujar Habibus.

Ia pun mendesak negara untuk segera melakukan penyelidikan terhadap tragedi yang mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa dan luka dengan membentuk tim penyelidik independen. Habibus juga meminta Kompolnas dan Komnas HAM untuk memeriksa dugaan Pelanggaran HAM, dugaan pelanggaran profesionalisme, dan kinerja anggota kepolisian yang bertugas.

Desakan lainnya dialamatkan kepada Propam Polri dan POM TNI untuk segera memeriksa dugaan pelanggaran profesionalisme dan kinerja anggota TNI-Polri yang bertugas pada saat peristiwa tersebut. Habibus juga mendesak kapolri untuk melakukan evaluasi secara tegas atas tragedi yang terjadi.

"Kami juga mendesak pemerintah pusat dan daerah terkait untuk bertanggung jawab terhadap jatuhnya korban jiwa dan luka-luka dalam tragedi Kanjuruhan, Malang," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement