Rabu 05 Oct 2022 21:45 WIB

Tragedi Gelam dan Tertembaknya KH Asyiq Mukri oleh Tentara Era Orde Lama

KH Asyiq Mukri dikenal sebagai pejuang di Pulau Bawean bahkan hingga Singapura

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
KH Asyiq Mukri. KH Asyiq Mukri dikenal sebagai pejuang di Pulau Bawean bahkan hingga Singapura
Foto: Dok Istimewa
KH Asyiq Mukri. KH Asyiq Mukri dikenal sebagai pejuang di Pulau Bawean bahkan hingga Singapura

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Nusantara tidak pernah kekurangan ulama dalam misi menyebarkan ajaran Islam. Para ulama ini juga turut berkontribusi dalam melawan penjajah di negeri ini.

Namun, selama ini ulama yang dimunculkan ke permukaan hanyalah ulama-ulama yang berasal kepulauan besar saja, seperti Pulau Jawa, Pulau Sumatra, Kalimantan, dan lain-lain.

Baca Juga

Padahal, para ulama yang tinggal di pelosok negeri juga memiliki peran tersendiri dalam menanamkan nilai-nilai keislaman di tengah-tengah masyarakat. Di antaranya adalah KH Asyiq Mukri, yang berasal dari Pulau Bawean. Bahkan, dia mendakwahkan Islam hingga ke Singapura.

Pulau berjuluk Pulau Putri ini terletak di Laut Jawa, sekitar 120 kilometer sebelah utara Kabupaten Gresik. Secara administratif, Pulau Bawean hanya terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sangkapura dan Kecamatan Tambak.

Di pulau kecil inilah Kiai Asyiq Mukri menghabiskan masa kanak-kanaknya. Dia adalah putra dari pasangan KH Mukri dan Hj Aisyah. Namun, tanggal dan tahun kelahiran Kiai Asyiq belum diketahui dengan pasti. Dia diperkirakan lahir pada akhir abad ke-19 dan memiliki tiga saudara kandung, yaitu Hj Halimah, Hj Maryam, dan H Ali Juneid.

Dari silsilah ibunya, Asyiq Mukri adalah cucu Kiai Muhammad Asyiq atau dikenal sebagai Kiai Asyiq Tua, seorang kiai sepuh berpengaruh di Desa Telukjati, Kecamatan Tambak, Bawean.

Sedangkan dari silsilah ayahnya, Asyiq Mukri dihubungkan dengan generasi asal Sulawesi Selatan yang hijrah ke Pulau Bawean. Ayahnya juga dikenal memiliki hubungan dekat dengan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.

Dalam buku “Ulama Bawean dan Jejaring Keilmuan Nusantara Abad XIX-XX”, Burhanuddin Asnawi menceritakan, pemikiran KH Asyiq Mukri jauh ke depan melampui usianya. Kiai Asyiq bercita-cita membangun dan memajukan masyarakatnya agar bisa mandiri dan tidak terlalu bergantung pada pemerintah. 

Dia telah merencanakan konsepnya dengan sistematis dan logis, yakni mengawali dengan sebuah upaya mendirikan sebuah organisasi atau badan ekonomi yang bergerak di bidang sektor usaha.

Salah satu yang menjadi bagian rencananya adalah pembangunan irigasi pertanian. Namun, langkahnya ini terhenti di tanah kelahirannya sendiri. Niatnya untuk memajukan kampung halaman justru harus menuai kecaman dan fitnah.

Menurut Burhanuddin Asnawi, oknum komunis dan pihak-pihak terkait yang tidak senang dengan langkah Kiai Asyiq Mukri terus membuntutinya, mengintainya, hingga dia pun dituduh menghambat program pemerintah Orde Lama.

Tekanan terhadap Kiai Asyiq belum berhenti. Pada suatu waktu, dia sedang menjalani riyadhah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam keadaan jadab atau majdub, dia kemudian berjalan kaki melintasi jalan raya di dekat kampungnya di Desa Gelam.

Tiba-tiba, sebuah mobil pemerintah melintas di sampingnya. Kiai Asyiq tanpa sadar melempari mobil tersebut dengan benda kecil sejenis buah pinang kering. Kejadian kecil ini ternyata harus dibayar dengan nyawanya.

Kiai Asyiq lalu ditembak begitu saja dan dituduh sebagai pemberontak. Peluru tentara RI itu mengenai anggota tubuh Kiai Asyiq yang menyebabkan dia lumpuh dan harus dilarikan ke pusat kesehatan yang terletak di Kecamatan Sangkapura.

Sepekan setelah perisitwa ini, tepatnya pada 1952, Kiai Asyiq Mukri berpulang ke rahmatullah. Dia menghembuskan nafas terakhirnya ketika sedang menjalani pengobatan di Sangkapura. Peristiwa ini dikenal dengan Tragedi Gelam.

Masyarakat Bawean, khususnya yang tinggal di Desa Gelam dan sekitarnya sampai saat ini terus mengenang Kiai Asyiq Mukri. Dia telah terbang jauh mengepakkan sayapnya sejauh kecemerlangan pemikiran dan perjuangannya. Kepergiannya adalah syahid dari segenap pengabdiannya terhadap agama dan masyarakatnya.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement