REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Kabinet Sri Lanka telah menyetujui proposal untuk menurunkan status ekonomi negara kepulauan itu menjadi "negara berpenghasilan rendah". Juru bicara kabinet Bandula Gunawardane menyatakan pada Selasa (11/10/2022), perubahan ini sebagai upaya agar mendapatkan akses ke pendanaan lunak dari organisasi internasional.
Ekonomi Sri Lanka berada dalam kemerosotan terdalam dengan menyusut pada 8,4 persen tahunan pada kuartal Juni dalam salah satu penurunan kuartalan paling tajam. Bank Dunia menyatakan, PDB per kapita adalah 3.815 dolar AS pada 2021, yang telah menempatkannya dalam kategori ekonomi menengah ke bawah.
Kabinet pun telah memutuskan untuk menurunkan peringkat pulau itu menjadi "berpenghasilan rendah" dalam daftar Bank Dunia. "Mengingat krisis keuangan serius yang dihadapi Sri Lanka, perwakilan organisasi internasional telah memberi tahu kami bahwa jika Sri Lanka dikategorikan sebagai negara berpenghasilan rendah, akses pendanaan akan lebih mudah," kata Gunawardane.
Pulau Asia Selatan berpenduduk 22 juta orang itu sedang berjuang melawan krisis ekonomi terburuknya sejak kemerdekaan pada 1948 yang disebabkan oleh Covid-19. Padahal negara ini bergantung pada pariwisata dan memangkas pengiriman uang dari pekerja di luar negeri.
Kenaikan harga minyak, pemotongan pajak, dan larangan impor pupuk kimia selama tujuh bulan pada tahun lalu membuat kondisi negara itu semakin hancur. Krisis telah menyebabkan kekurangan dolar akut untuk membayar impor makanan, bahan bakar, dan obat-obatan, ditambah kondisi anjloknya rupee dan inflasi yang tak terkendali.
Bank Sentral Sri Lanka mempertahankan suku bunga stabil pekan lalu. Lembaga ini memperkirakan kontraksi produk domestik bruto 8,7 persen untuk 2022.