REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Peraih Nobel Perdamaian Malala Yousafzai kembali ke negara asalnya, Pakistan untuk menemui para korban banjir, Selasa (11/10/2022) waktu setempat. Kunjungan ini terjadi sejak 10 tahun setelah upaya pembunuhan Taliban terhadapnya.
Yousafzai baru berusia 15 tahun ketika Taliban Pakistan, sebuah kelompok independen yang berbagi ideologi yang sama dengan Taliban Afghanistan, menembak kepalanya karena kampanyenya untuk pendidikan anak perempuan. Pada Selasa, dua hari setelah peringatan 10 tahun serangannya, Yousafzai tiba di Karachi.
Ia melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang hancur oleh banjir monsun di Pakistan. "Kunjungannya bertujuan untuk membantu menjaga perhatian internasional terfokus pada dampak banjir di Pakistan dan memperkuat kebutuhan akan bantuan kemanusiaan yang kritis," kata organisasi Malala Fund dalam sebuah pernyataan seperti dikutip laman Channel News Asia, Rabu (12/10/2022).
Sebelumnya, Malala Fund menyumbangkan dana bantuan darurat kepada Komite Penyelamatan Internasional (IRC) untuk mendukung upaya bantuan banjir dan melindungi kesejahteraan anak perempuan dan perempuan muda di Pakistan. Bencana banjir Pakistan mengakibatkan sepertiga wilayah Pakistan terendam air, delapan juta orang mengungsi, dan menyebabkan kerugian sekitar 28 miliar dolar AS.
Dahulu, Yousafzai dibesarkan di kota Mingora di Lembah Swat yang sangat konservatif. Daerah itu dekat dengan perbatasan dengan Afghanistan.
Taliban Pakistan, yang dikenal sebagai Tehreek-e-Taliban Pakistan (TTP), melancarkan pemberontakan selama bertahun-tahun di sana yang berakhir dengan tindakan keras militer besar-besaran pada 2014. Namun telah terjadi kebangkitan dalam kerusuhan sejak Taliban Afghanistan kembali berkuasa di Kabul tahun lalu.
TTP telah mengeklaim puluhan serangan dalam beberapa pekan terakhir. Serangan itu sebagian besar menargetkan pasukan keamanan dan tetua anti-Taliban. "Kami lelah dan tidak bisa lagi membawa mayat," kata Muhammad Ali Shah, mantan wali kota Swat.
"Adalah tanggung jawab negara untuk melindungi warganya dan memberi mereka keamanan, tetapi sikap diam pemerintah atas semua insiden ini adalah tindakan kriminal," imbuhnya.
Lebih dari 5.000 orang memblokir jalan utama melalui Mingora, dipicu oleh serangan terbaru terhadap bus sekolah pada Senin. Pengemudi tewas dan seorang anak laki-laki berusia 10 atau 11 tahun terluka.
TTP membantah bertanggungjawab, sedangkan polisi mengatakan pihaknya tengah menyelidiki motifnya. Siswa dan guru keluar dari sekolah termasuk sekolah yang dihadiri oleh Yousafzai yang didirikan ayahnya untuk menyerukan perdamaian.
"Protes kami akan berlanjut sampai penangkapan para pembunuh, kami tidak akan bangkit dari sini sampai pejabat tinggi pemerintah meyakinkan kami akan keadilan dan diakhirinya militansi," kata dokter Amjad Ali (36 tahun).