Jumat 21 Oct 2022 15:32 WIB

Peneliti: Perluasan Lahan Sawah tidak Jamin Produktivitas Naik

Perluasan lahan sawah tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan dan rusak lingkungan

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petani membawa padi hasil panen di sawah yang terendam banjir luapan Sungai Batanghari di Jambi Timur, Jambi.
Foto: ANTARA/Wahdi Septiawan
Petani membawa padi hasil panen di sawah yang terendam banjir luapan Sungai Batanghari di Jambi Timur, Jambi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perluasan lahan pertanian dinilai tidak menjamin sepenuhnya peningkatan produktivitas pangan dan dapat berpotensi merusak lingkungan serta memperparah krisis iklim.

“Perluasan lahan tidak efektif dijadikan solusi utama dalam menjawab tantangan sektor pertanian dan pemenuhan kebutuhan pangan Indonesia. Cara ini tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan dan berpotensi merusak lingkungan,” kata Head of Agriculture Research dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, Jumat (21/10/2022).

Aditya menambahkan, sektor pertanian, termasuk di Indonesia, menghadapi banyak tantangan dalam menyediakan pangan. Salah satunya adalah krisis iklim yang menyebabkan berbagai bencana alam, yang dampaknya menyebabkan ketidakpastian dalam musim tanam dan musim panen serta berkurangnya produksi pertanian.

Tantangan pada sektor pertanian antara lain adalah berkurangnya jumlah pekerja, semakin menurunnya kesejahteraan petani, meningkatnya harga pupuk dan masih banyak lagi yang diakibatkan oleh situasi global.

“Jumlah penduduk terus meningkat. Namun jumlah lahan yang tersedia akan tetap sama dan harus berbagi dengan kebutuhan infrastruktur dan industrialisasi. Sehingga, kemampuan produktivitas di lahan pertanian yang ada harus ditingkatkan untuk bisa mengikuti pertumbuhan permintaan pangan,” tambahnya.

Sayangnya, ia menilai, produktivitas sektor pertanian di Indonesia masih rendah karena kurangnya riset dan inovasi serta keterbatasan adopsi praktek budidaya yang baik dan penggunaan teknologi pertanian yang masih minim.

Penelitian CIPS menemukan secara umum, biaya produksi bahan pangan utama lebih tinggi daripada di beberapa negara pengekspor komoditas yang sama, terutama karena mekanisme produksi dan sistem distribusi yang kurang efisien di Indonesia.

Tingginya ongkos produksi dapat diatasi melalui investasi pertanian yang berkelanjutan, yang dapat mendorong modernisasi dan transfer teknologi.“Sistem pangan Indonesia masih dihadapkan pada berbagai masalah, seperti tingginya ongkos produksi, belum efisiennya proses produksi dan panjangnya rantai distribusi yang semuanya berdampak pada harga,” ujar Aditya.

Pencetakan sawah baru, apalagi di lahan gambut, akan menghabiskan waktu yang lama. Selain belum tentu bisa membantu memenuhi kekurangan stok pangan yang terjadi, karakteristik lahan yang dibuka untuk pertanian juga belum tentu cocok.

Program cetak sawah dengan membuka lahan juga berisiko mengancam ekosistem yang ada hingga merusak keseimbangan lingkungan. Untuk itu, pemerintah sebaiknya tidak mengulang kesalahan dengan menciptakan program pencetakan sawah secara masif.

Pemerintah sebaiknya memperkuat produksi pangan yang ada dengan mendukung riset dan inovasi, mengadopsi teknologi pertanian serta meningkatkan kapasitas petani agar lebih produktif, termasuk melalui kerja sama dengan pihak swasta.

Penelitian CIPS merekomendasikan peningkatan produktivitas lahan maupun tenaga kerja melalui penggunaan bibit unggul, peningkatan akses pada pupuk, penanganan serangan hama/Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan penggunaan alat mesin pertanian atau mekanisasi.

Selain itu, juga dapat dilakukan perbaikan teknik budidaya, perbaikan dan perluasan jaringan irigasi, modifikasi cuaca untuk mitigasi perubahan iklim dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia sektor pertanian.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement