Rabu 02 Nov 2022 15:49 WIB

IDAI Kaitkan Kasus Ginjal Akut dengan Motif Penghematan Biaya Produksi Obat Sirup

IDAI menyebut kasus serupa pernah terjadi di Bangladesh pada 1990-an.

Red: Reiny Dwinanda
Petugas menempelkan tulisan pemberitahuan tidak melayani pembelian obat sirup penurun panas di salah satu apotek di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Sabtu (22/10/2022). Sejumlah apotek di daerah tersebut merespon dengan tidak memperjualbelikan obat sirup menyusul terbitnya surat edaran nomor SR.01.05/III/3461/2022 dari Kementerian Kesehatan tentang penghentian sementara penggunaan obat dan vitamin dalam bentuk cair atau sirop. Pemerintah telah menyimpulkan bahwa faktor risiko terbesar yang memicu kenaikan kasus gangguan ginjal akut di Indonesia disebabkan senyawa kimia berbahaya pada obat sirop.
Foto: ANTARA/Abriawan Abhe
Petugas menempelkan tulisan pemberitahuan tidak melayani pembelian obat sirup penurun panas di salah satu apotek di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Sabtu (22/10/2022). Sejumlah apotek di daerah tersebut merespon dengan tidak memperjualbelikan obat sirup menyusul terbitnya surat edaran nomor SR.01.05/III/3461/2022 dari Kementerian Kesehatan tentang penghentian sementara penggunaan obat dan vitamin dalam bentuk cair atau sirop. Pemerintah telah menyimpulkan bahwa faktor risiko terbesar yang memicu kenaikan kasus gangguan ginjal akut di Indonesia disebabkan senyawa kimia berbahaya pada obat sirop.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah mengemukakan keterkaitan kasus gangguan ginjal akut di Indonesia dengan pemanfaatan bahan baku pelarut berkualitas rendah oleh oknum produsen obat sirup. Ia mensinyalir hal itu dilakukan untuk menghemat biaya produksi.

"Saya apresiasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena bisa membuktikan bahan baku obat yang tercemar," kata dr Piprim dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Rabu (2/11/2022).

Baca Juga

Dr Piprim mengatakan pemanfaatan bahan baku obat berkualitas rendah berpotensi tercemar senyawa kimia, seperti Etilen Glikol (EG) maupun Dietilon Glikol (DEG), berbahaya bagi kesehatan pasien. Sebab, senyawa kimia itu tidak memenuhi ketentuan produksi farmasi.

"Rupanya, kasus ini seperti sejarah. Pernah terjadi di Bangladesh pada 1990-an, saat itu karena motifnya penghematan dengan biaya sepersepuluh dari biaya normalnya," katanya.

Menurut dr Piprim, sangat masuk akal bila kejadian keracunan obat di Indonesia dikaitkan dengan mahalnya harga bahan baku pelarut obat sirup, seperti Polietilen Glikol (PEG) atau Propolen Glikol (PG). Ia pun menyatakan insiden kematian ratusan anak akibat obat tersebut sebagai tindak kejahatan kemanusiaan.

"Kami menuntut ini dihukum seadil-adilnya, jangan sampai hanya lima tahun dan sebagainya," katanya.

Pemerintah telah menyimpulkan bahwa faktor risiko terbesar yang memicu kenaikan kasus gangguan ginjal akut di Indonesia disebabkan senyawa kimia berbahaya pada obat sirup. Senyawa kimia yang dimaksud bernama Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang dibawa oleh bahan pelarut Propolen Glikol (PG) di atas ambang batas aman 0,1 mg/ml pada produk obat sirup.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement