REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Banyak kalangan prihatin bahwa pergelaran Pilpres 2014 dan 2019 masih menyisakan residu politik yang membelah masyarakat secara tajam.
Bergabungnya Prabowo Subianto dalam Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin, ternyata tidak serta merta menyatukan publik luas dalam kerjasama yang produktif.
Fakta itu mengindikasikan belum adanya upaya serius dari berbagai kalangan untuk merajut persatuan bangsa yang terkoyak oleh perkubuan politik.
Atas dasar keprihatinan semacam itu, Forum 2045, organisasi guru besar dan akademia se-Indonesia, menyelenggarakan diskusi ’Common Project Rekonsiliasi dan Reintegrasi Nasional’.
Diskusi yang dilangsungkan di UC Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa (15/11/2022) itu dikemas dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD) dengan menghadirkan pakar neurosains dr Roslan Yusni Hasan, sosiolog Robertus Robet, pakar politik Airlangga Pribadi Kusman, praktisi telematika MS Manggalany, serta pakar komunikasi massa Wahyu Riawanti.
”Tema rekonsiliasi dan reintegrasi penting untuk digaungkan dalam upaya menjaga eksistensi negara-bangsa yang kita cintai dari potensi perpecahan, pengkerdilan budaya dan involusi kebangsaan,” ujar Ketua Forum 2045, Dr Untoro Hariadi, dalam keterangan tertulisnya (14/11/2022).
Menurut Untoro, ajakan rekonsiliasi dan reintegrasi bangsa sangat relevan mengingat kehidupan politik Indonesia secara umum masih belum beranjak dari kebanalan dan pragmatisme.
Ajakan tersebut juga bermanfaat sebagai antisipasi menjelang Pemilu dan Pilpres 2024 mendatang. Terlebih lagi, wacana mengenai politik identitas yang merusak kembali marak belakangan ini.
“Literasi yang rendah dan daya kritis yang tumpul di tingkat akar rumputnya dapat disulut menjadi kayu bakar konflik, dengan api yang bernama populisme. Dalam situasi semacam itu, isu politik identitas dapat dimainkan untuk kepentingan kekuasaan, tanpa memperhitungkan dampaknya bagi bangunan kebangsaan kita,” lanjut dosen Universitas Janabadra Yogyakarta itu.
Sementara itu, Ketua DPP Partai NasDem, Willy Aditya, yang hadir sebagai penanggap aktif dalam diskusi tersebut, menyambut positif inisiatif Forum 2045. Menurutnya, tema rekonsiliasi dan reintegrasi harus disuarakan terus menerus menjelang pesta demokrasi 2024 nanti.
“Saya kira kita semua telah alpa usai Pilpres 2019 kemarin. Rekonsiliasi pascapilpres lalu hanya dibangun di level elite dan di level bawahnya terabaikan. Inilah yang menyebabkan potensi polarisasi masih kuat. Apalagi, sepertinya ada yang terus mengorkestrasi sentimen politik identitas, terutama di medsos,” jelas Willy.
Willy menambahkan, dibutuhkan upaya serta itikad yang kuat dari para pelaku politik untuk mencegah berlanjutnya keterbelahan seperti di tahun-tahun sebelumnya.
Karena itu, dia menilai bahwa bangsa Indonesia saat ini memerlukan negarawan, yaitu kalangan yang senantiasa mengorientasikan semangat persatuan saat memegang kendali kekuasaan.
”Beda dengan politisi, negarawan percaya dengan political obligation (kewajiban politik) bahwa saat mereka berkuasa, proyek persatuan nasional dalam bentuk rekonsiliasi harus dipastikan berjalan,” kata dia.