REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan, akan menyuarakan keprihatinan tentang catatan hak asasi manusia China dan ketegangan geostrategis saat bertemu Presiden Xi Jinping pada Jumat (18/11/2022). Ardern dijadwalkan bertemu Xi di sela-sela konferensi Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC di Bangkok dan menjadi pertemuan tatap muka pertama mereka sejak 2019.
Ardern mengatakan kepada media Selandia Baru yang bepergian bersamanya, ada area kesepakatan dan perselisihan antara China dan Selandia Baru dan keduanya akan disinggung.
"Kami akan sangat jelas di mana kami berpisah, itu termasuk, tentu saja, tentang masalah hak asasi manusia dan beberapa ketegangan geostrategis yang telah kami lihat di wilayah kami," kata Ardern.
"Kami tidak mengatakan apa pun di depan umum yang tidak kami katakan secara pribadi," katanya.
Kekhawatiran Selandia Baru pada keamanan dan kehadiran China yang tumbuh di Pasifik Selatan semakin kuat tahun ini setelah China dan Kepulauan Solomon mencapai pakta keamanan.
Pada Juni, China mengkritik pernyataan dari Selandia Baru dan Amerika Serikat yang menyatakan keprihatinan serius tentang hak asasi manusia di wilayah Xinjiang China barat dan erosi kebebasan di Hong Kong. Sementara hubungan Australia dengan China telah memburuk, interaksi Selandia Baru dan China sebagian besar tetap ramah. Wellington mengekspor barang senilai sekitar 20 miliar dolar Selandia Baru ke Beijing per tahun.
Profesor Hubungan Internasional di University of Otago Robert Patman mengatakan, Selandia Baru telah mengejar hubungan yang lebih ramah dengan China. Hanya saja hubungan tersebut tidak lagi memiliki momentum seperti periode 2008-2016.
"Selandia Baru sangat senang memiliki hubungan ekonomi yang baik dan saling menguntungkan dengan China, tetapi tidak akan menerima pengikisan nilai inti dan kepentingannya sebagai gantinya," kata Patman.