Selasa 29 Nov 2022 20:37 WIB

Orang-orang Papua yang Memilih Pulang Kampung

Otonomi Khusus mendorong orang-orang pulang kampung dan membangun Papua dari kampung.

Red: Priyantono oemar
Kepala Kampung Malaumkarta, Kabupaten Sorong, Jefry Mobalen, di hutan Malaumkarta
Foto:

Membangun Kampung (Adat)

Meski masih menuai pro-kontra, Otonomi Khusus menjadi jalan baru bagi Papua. “Tim 100 datangi Habibie minta sesuatu untuk Papua. Habibie bilang, pulang dan pikirkan. Habibie meletakkan aspirasi rakyat Papua secara bijak,” ujar Bustar Maitar pada Februari 2020.

Bustar adalah anak Papua yang lama aktif di Greenpeace. Ia menjadi juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara. Ia lalu memilih pulang kampung ke Manokwari. Pertemuan Habibie dengan 100 tokoh Papua, yang diceritakan Bustar,  itu terjadi pada 26 Februari 1999. Mereka menyampaikan keinginan Papua untuk berpisah dari Indonesia.

“Aspirasi yang Anda sampaikan itu penting, tetapi mendirikan negara bukan perkara mudah. Pulang dan renungkan kembali aspirasi itu,” kata Habibie pendek menjawab keinginan 100 tokoh Papua itu. Masyarakat Papua kemudian menerima tawaran Otonomi Khusus.

Setelah pulang kampung, mulai 2017 Bustar mengelola LSM yang bergerak di bidang lingkungan juga, khusus untuk Papua dan Maluku. Lewat Yayasan Econusa, Bustar mengajak masyarakat Papua menjaga hutan. Kapal Phinisi EcoXplorer untuk penelitian, ia sediakan. Peluncurannya dilakukan di perairan Sorong pada Juni 2022. Masyarakat adat Moi dari Kampung Malaumkarta ikut mengadakan ucapara adat di atas kapal. Selain untuk penelitian, kapal ini juga sebagai alat transportasi untuk menjangkau daerah yang susah dituju melalui jalur darat.

photo
Bustar Maitar (terlihat punggung di haluan perahu mesin, memimpin Ekspedisi Mangrove 2019, menuju kampung lokasi penelitian - (Foto: Priyantono Oemar/Republika).
 

Sebelum peluncuran EcoXplorer, Econusa sudah mengadakan Expedisi Mangrove di sepanjang pantai barat Papua, sepanjang 1.000 kilometer dari Kaimana hingga Raja Ampat pada 2019. Ekspedisi menggunakan kapal Phinisi ini dilanjutkan pada 2020 dari Raja Ampat ke Maluku. Melibatkan peneliti dari Universitas Papua.

Econusa juga mengadakan sekolah-sekolah pembela lingkungan (School of Eco Diplomacy). Lulusannya disebut eco defender (pembela lingkungan). Para pemuda Papua antusias mengikuti sekolah ini, kemudian menjadi penggerak lingkungan di wilayah masing-masing.

Di Papua Selatan diadakan pula Sekolah Transformasi Sosial. Sekolah ini membuka kelas pelatihan pertanian organik dan kelas penyusunan pangkalan data. Ada 10 kampung yang mengirimkan peserta. Peserta mendapatkan pendampingan selama melakukan kegiatan di kampung masing-masing setelah menyelesaikan sekolah transformasi sosial ini. Yang mempelajari pertanian organik, mengajarkan di kampung masing-masing, yang mempelajari penyusunan pangkalan data mengumpulkan data-data kampung untuk mengembangkan basis data potensi kampung.

“Setelah data tersedia, bersama pemerintah kampung membuat program,” jelas Manajer Program Caritas, Harry Woersok, kepada saya, 2 Desember 2021. Yayasan Caritas Merauke menjadi pengelola sekolah ini. “Econusa bantu program, INSIST menyiapkan kurikulum,” lanjut Harry.

photo
Matias Mairuma, selama menjadi bupati Kaimana menolak ratusan proposal investasi kebun sawit - (Foto: Priyantono Oemar/Republika).
 

Pemberdayaan masyarakat Papua, kata Matias Mairuma, pada 1980-an baru diadakan di pantai utara Papua, bergerak dari Jayapura ke Sorong. “Lembaga donor meminta penerima manfaat pemberdayaan berambut keriting,” kata Matias di acara Econusa, di Jakarta, Januari 2020.

Sekarang, kata Matias yang sudah menyelesaikan masa jabatan bupatinya yang kedua (2016-2021), kegiatan pemberdayaan sudah menyeluruh di Papua, melibatkan ribuan lembaga swadaya masyarakat. Pada awalnya, Matias juga aktif di lembaga swadaya masyarakat yang melakukan  program pemberdayaan di pesisir utara Papua.

Tak ingin hanya memperhatikan pesisir utara Papua, ia kemudian memilih pulang kampung ke Kaimana untuk menjadi anggota DPRD Kaimana. Sejak 2004 ia kemudian menjadi anggota DPRD Papua Barat. Pada 2010-2015 ia menjadi bupati untuk periode pertama.

Selama kepemimpinannya ada ratusan permohonan izin pembukaan kebun sawit yang sampai di mejanya. Tapi semuanya ia tolak. Bisa saja kita beri izin masuk, tapi hutan menjadi rusak. Matias bercerita tentang hutan sagu di Papua yang terancam oleh kedatangan sawit. Dalam sehari, menurut dia, satu pohon sawit memerlukan 2,5 liter air, yang berarti juga mengancam kebutuhan air di Papua. "Ribuan sawit itu dong pu kali air akan habis," kata Matias memberi alasan penolakannya terhadap izin usaha kebun sawit.

Ia mengaku pernah mendapat nasihat dari kepala suku di Nabire, yang mengatakan jangan per nah mengambil untung dari hutan Papua dengan menjual sawit. Kepala suku itu, menurut Matias, mengatakan bahwa hutan Papua sudah memberi keuntungan banyak kepada orang Papua. "Jadi ia setuju saya maju menjadi kepala daerah, dengan nasihat asal jangan kau kasih masuk kelapa sawit,'' ujar Matias, mengulang nasihat kepala suku yang pernah bertemu dengannya.

Melindungi hutan Papua, berarti juga menjaga keberadaan masyarakat adat Papua. Hutan di Papua yang berbeda dengan hutan di daerah lain. Selama ini, hutan Papua telah menghidupi orang Papua, baik secara ekonomi maupun secara budaya. Dalam hitung-hitungan Bustar Maitar, bisa menghidupi tujuh turunan orang Papua.

Orang Papua sudah yakin bahwa hutan untuk masa depan mereka. Bustar menyebut, orang-orang yang tak tahu adat tak bisa menjaga hutan. Mereka rakus memanfaatkan hutan. “Dalam agama diajarkan, makanlah sebelum lapar dan behentikan sebelum kenyang,” kata Bustar membuat analogi cara memanfaatkan hutan berdasarkan hukum adat di masyarakat adat Papua.

Hutan merupakan ibu bagi masyarakat adat Tanah Papua. Menjaga kelestarian hutan berarti menjaga keberadaan sagu, tanaman herbal, umbi-umbian, satwa liar, dan sebagainya. Meski negara menganggap hutan di Tanah Papua adalah hutan milik negara, tetapi bagi masyarakat adat di Tanah Papua, hutan adalah milik mereka. Status hutan di Papua yang berbeda ini, selama ini telah menghidupi orang Papua, baik secara ekonomi maupun secara budaya. Tak bisa serta-merta negara menyewakan kepada swasta tanpa melibatkan masyarakat adat selaku pemilik hutan.

Maka, Bupati Sorong Johny Kamuru memberanikan diri untuk membatalkan izin investasi sawit yang diteritkan sebelum dirinya menjabat sebagai gubernur. Ketika perusahaan yang dicabut izinnya menggugatnya ke PTUN, PTUN memenangkan keputusan Bupati. Sebelum pembatalan izin dilakukan, menjawab saya, ia menyatakan, “Kalau tak ada manfaat bagi masyarakat, untuk apa investasi sawit dan yang lainnya kalau merusak hutan. Lebih baik masyarakat hidup, tetapi hutan tetap terjaga,” ujar Johny menjawab saya di rumah dinasnya pada 21 Februari 2019.

Di Sorong dan daerah lainnya di wilayah kepala burung Pulau Papua, berdiam suku Moi. Salah satu anak Moi, Silas Kalami, juga memutuskan pulang kampung, meninggalkan Jayapura, tempat ia kuliah dan mencari rezeki. Mulai dari nol, Silas membentuk Lembaga Masyakarat Adat (LMA) Malamoi Sorong, mengajak masyarakat di berbagai kampung untuk melakukan pemetaan terhadap wilayah adat. Di tingkat pemerintahan Kabupaten Sorong, LMA Malamoi mendorong adanya peraturan yang mengakui wilayah adat dan melindungi masyarakat adat.

photo
Jefry Mobalen, pulang kampung setelah lulus kuliah, lalu menjadi kepala kampung, menjaga hutan dan laut Malaumkarta - (Foto: Priyantono Oemar/Republika).
 

Di Kampung Malaumkarta, Kabupaten Sorong, para pemuda juga memilih pulang kampung setelah menuntut ilmu di berbagai perguruan tinggi. Di kampung mereka mempraktikkan ilmu yang sudah mereka dapat selama kuliah. Para orang tua mendorong anak-anak Moi di Malaumkarta untuk membangun jaringan saat kuliah. Artinya, kata Kepala Kampung Malaumkarta Jefry Mobalen, mereka tidak hanya diminta belajar di bangku kelas, melainkan juga aktif berorganisasi. Jefry termasuk yang memilih pulang kampung dan kemudian dipilih menjadi kepala kampung.

Di Malaumkarta ada beberapa organisasi untuk menjaga kelestarian laut dan hutan. Aktivisnya para pemuda dan didukung oleh para tetua adat. Ada Ikatan Kampung Malaumkarta Raya (IKMR), ada Kelompok Konservasi Malaumkarta, ada Perkumpulan Generasi Malaumkarta. Yang aktif di dalamnya adalah para pemuda Malaumkarta Raya, yang berasal dari lima kampung yang saling berbatasan, yang didiami oleh masyarakat adat Moi.

Mereka menjalankan hukum adat untuk melindungi perairan dan hutan lewat sistem egek. Dalam kurun tertentu tidak boleh ada pengambilan hasil laut dan hasil hutan. Bahkan Malaumkarta mendapat perhatian khusus dari Pemkab Sorong. Malaumkarta mendapat pengakuan khusus melalui Peraturan Bupati Nomor 7 Tahun 2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut di Kampung Malaumkarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement