Selasa 29 Nov 2022 20:37 WIB

Orang-orang Papua yang Memilih Pulang Kampung

Otonomi Khusus mendorong orang-orang pulang kampung dan membangun Papua dari kampung.

Red: Priyantono oemar
Kepala Kampung Malaumkarta, Kabupaten Sorong, Jefry Mobalen, di hutan Malaumkarta
Foto:

Setelah Papua Menjadi Enam Provinsi

Ada juga yang pulang kampung mengandalkan diri sendiri, mencoba mengenalkan makanan khas Papua: sagu bakar berbagai rasa. Motivasi awalnya bukan untuk menambah penghasilan, karena penghasilan sebagai staf di kelurahan sejak 2015 sudah cukup baginya. Ia ingin mengembangkan makanan Papua. Sejak Februari 2021 ia memulai usaha kuliner sagu bakar mulai dari jualan daring dan kemudian buka lapak. Dari pukul 18.30 sampai 22.00, ia bisa mengantongi Rp 1 juta. “Saya harus berbuat sesuatu untuk Papua Selatan, bahwa ada potensi budaya yang bisa dikembangkan,” ujar Tobias Meje, alumnus STPDN Manado itu.

Karena ia hobi memasak dan makan, maka ia kembangkan sagu bakar sebagai makanan khas subsuku Yepian dari suku Marind. Beragam rasa ia jadikan menu pilihan sagu bakarnya.

Pada mulanya, ia menempuh pendidikan di STPDN Jatinangor, Jawa Barat. Semester ketiga ia memilih pindah ke STPDN Manado dan setelah lulus pada 2015, ia memutuskan untuk pulang kampung. Ia pernah mengajak lima pemuda di Merauke untuk membantu usahanya. Tapi mereka hanya bertahan lima bulan. Malu menjadi alasan mereka tak melanjutkan kerja mereka memulai usaha kuliner sagu bakar. “Kita tak perlu malu untuk berbuat sesuatu demi Papua Selatan,” kata Tobias.

Hans Mandacan juga pulang kampung mengandalkan diri sendiri dan setelah berhasil mengusahakan sesuatu di kampung, baru kemudian mengajak pemuda-pemuda di kampungnya. Hans memilih pulang kampung meninggalkan pekerjaannya sebagai pemandu wisata. Ia pernah menjadi pemandu wisata di Teluk Bintuni, Raja Ampat, dan Bali. Ia sudah memiliki bekal jejaring kerja.

Di kaki Pegunungan Arfak, Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat, Hans mengajak temannya dari Jerman pada 2017. Di kampung Hans di perbatasan Kabupaten Merauke itu, teman Jerman ini diantar untuk melihat burung di hutan di Distrik Makowam. Cerita menyebar dari teman Jerman ini. Turis-turis berdatangan. Paket wisata bird watching yang ia tawarkan telah memberikan hasil bagi kampung. Guest house yang dibangun disewakan Rp 150 ribu per malam. Para pemuda di kampung dilibatkan menjadi pemandu wisata. Ia bisa menyetorkan uang ke kepala suku sebesar Rp 5 juta per bulan.

Alex Waisimon lebih gila lagi. Sebelumnya pernah bekerja di Palang Merah Asia Pasifik, menjadi koki di Hamburg, dan pemandu wisata di Bali. Ia pulang kampung menjadi orang gila di hutan di Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbrokang, Kabupaten Jayapura, pada 2014. Pesan itulah yang ia berikan kepada keluarganya, agar orang pada takut masuk hutan. Jika ada yang masuk hutan, ia ganggu.

Ketika tak ada lagi yang masuk hutan, memperbaiki hutan yang sudah rusak. Dalam jangka waktu tiga tahun, 84 jenis burung sudah berkicau lagi di hutan kampungnya. Di antaranya, tentu saja adalah burung cendrawasih. Pada 2017 ia mendapat anugerah Kalpataru. Pada 12 Maret 2018, hutan Kampung Rhepang Muaif ditetapkan sebagai hutan adat oleh Bupati Jayapura, Mathius Awoitouw, melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 188.4/150.

photo
Tobias Meje sedang melayani pelanggan di Taman Libra, Merauke - (Foto: Priyantono Oemar/Republika).
 

Perhutanan sosial yang mencakup hutan desa, hutan kemasyarakatan, kemitraan kehutanan, hutan tanaman rakyat, dan hutan adat tidak dikenal masyarakat adat di Papua. Banyak yang menolaknya. Di Kabupaten Tambraw, misalnya. “Kami tolak skema perhutanan sosial. Hutan adat ada pemaksaan bagi kami, karena hutan sudah melekat dengan masyarakat Papua sebelum ada pemerintah,” ujar Kepala Suku Mpur di Kabupaten Tambraw, Paulus Ajambuani, menjawab pertanyaan saya di kantor Walhi Jakarta pada 15 November 2018. Saat itu, masyarakat adat Mpur datang di Jakarta untuk menentang investor yang membabat hutan mereka.

Mathius memiliki pertimbangan lain dengan perhutanan sosial, sehingga ia mengesahkan hutan adat lalu diajukan pengakuan ke Jakarta. Ia bukan orang Papua yang merantau, tetapi ia selalu “pulang kampung”. Ia mengawali pemberdayaan kampung dengan mengaktifkan kampung adat. Perjuangan yang memerlukan waktu lama. Untuk bisa membentuk kampung adat, masyarakat adat melakukan pemetaan wilayah adat mereka. Mereka harus bertemu dengan suku-suku lain untuk menetapkan batas wilayah adat mereka.

Menurut Mathius, cukup lama tak ada yang menyuarakan hak-hak masyarakat adat. Otonomi Khusus menyuarakan itu, tetapi yang dibicarakan uang, bukan substansi. Saat itu, uang untuk siapa belum jelas. Situasinya belum dipersiapkan. “Karena uang itu, banyak orang yang berebut,” kata Mathius.

Baru setelah ada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Desa, masyarakat adat dapat peluang bisa bicara dengan dasar hukum. Ada alokasi dana desa 10 persen dari DAU. Jayapura terapkan itu untuk hak-hak masyarakat adat itu.

Melakukan pemetaan partisipatif, mereka mencatat tidak hanya batas-batas wilayah adat, melainkan juga mencatat profil wilayah dan profil sosial. Peta wilayah adat itu mencakup untuk hutan, kebun, dan permukiman. Mereka didorong membuat rencana partisipatif lima tahunan. Sebagai bupati, Mathius lalu mengeluarkan peraturan mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat adat pada 24 Oktober 2014. Kampung-kampung adat yang sudah terbentuk diajukan ke Jakarta. Empat tahun kemudian ketika saya tanyakan kepada Mathius, Jakarta belum mengakui kampung adat itu. Baru pada Agustus 2022, pengakuan dari Jakarta keluar untuk 14 kampung adat di Jayapura.

photo
Bupati Jayapura Mathius Awoitouw menyerahkan peraturan bupati mengenai perlindungan masyarakat adat kepada Ketua Dewan Adat Demutru, Jayapura, Pieter Yanuaring, pada 2014 - (Foto: Priyantono Oemar/Republika).
 

Di Kabupaten Jayapura, ada sembilan wilayah adat yang terbagi dalam banyak kampung. “Kita buat pengakuan dulu, setelah itu pemerintah fasilitasi penguatan kapasitas untuk mengelola sumber daya alam,” jelas Mathius menjawab saya pada 23 Oktober 2014.

Penguatan kapasitas perlu dilakukan agar tak ada orang lain yang datang untuk membangun sumber daya alam mereka. Dengan demikian, menjual tanah atau tidak, merupakan pilihan masyarakat adat.  Pemerintah tak bisa melarangnya. Tapi, kata Mathius, “Kalau investasi masuk, kita harap mereka tak jual tanahnya. Bisa dengan kontrak.”

Untuk fasilitas umum yang akan dibangun pemerintah, pemerintah harus berbicara dengan masyarakat adat. Meski dibangun pemerintah, kata Mathius, namanya fasilitas umum, tentu penggunaannya oleh masyarakat. Bukan untuk kepentingan pemerintah. “Kalau bukan milik kita, kita bangun fasilitas umum, hal itu melanggar hak mereka,” kata Mathius.

Bukan hanya “penjaga” hutan yang pulang kampung. Wartawan pun ada yang pulang kampung. Adalah Dian Kandipi --yang sepenggal kisahnay menjadi pembuka tulisan ini-- ikut pulang kampung bersama ayahnya yang tentara. Ayahnya pulang kampung ke Jayapura menjelang masa pensiunnya. Menjalani masa SD-SMA di Jawa Barat, Dian kemudian berkuliah di Universitas Cendrawasih, Jayapura. Sejak mahasiswa ia sudah magang menjadi wartawan di koran lokal di Jayapura. Setelah lulus, ia diterima menjadi wartawan LBKN Antara, lalu pindah ke Jakarta, sebelum akhirnya pulang lagi ke Jayapura.

Ayahnya pernah bertanya kepadanya atas pilihannya menjadi wartawan. Ayahnya menganggap wartawan sering berposisi berseberangan dengan pemerintah. “Harus ada yang membuat perubahan, lagian nanti kan kita bisa menjadi partner yang sempurna,” jawab Dian kepada ayahnya mengenai pilihannya menjadi wartawaan kala itu.

Pelan-pelan, Dian mengampanyekan perubahan untuk orang-orang Papua. Ia kini berkampanye perlunya perempuan Papua maju. Dian sejak awal 2022 menjadi Kepala Biro Antara Papua dan sering menjadi pembicara di berbagai forum di Papua soal pemberdayaan perempuan.

photo
Dian Kandipi di Wamena - (Foto: Priyantono Oemar/Republika).

Lewat kegiatan jurnalistik, ia pun bisa menyebarkan informasi secara luas mengenai perkembangan Papua, termasuk hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang Papua yang pulang kampung. Pada 2018, Dian pernah menulis Alex Waisimon dan hutan adat Rhepang Muaif.

Pemekaran Papua menjadi enam provinsi saat ini memunculkan kekhawatiran banyak orang. Dikhawatirkan ada pemimpin di Tanah Papua yang tidak melindungi hutan Papua, sehingga menuruti keinginan Jakarta melepas hutan untuk perkebunan sawit. Kekhawatiran itu wajar, sebab menurut catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, 32 peraturan perundangan yang mengatur sumber daya alam, ada 1.176 peraturan pelaksana. Kesemuanya masih tumpang tindih dan tentu saja mengancam masyarakat adat sewaktu-waktu.

Menghadapi kekhawatiran ini, perlu didorong dibentuknya ikatan enam provinsi itu untuk bersepakat tetap menjaga hutan Papua, seperti yang telah dilakukan oleh lima kampung di Distrik Makbon, Sorong. Yaitu Malaumkarta, Suatolo, Mibi, Suatut, dan Malagufuk. Jefry Mobalen menjelaskan, lima kampung ini membentuk Ikatan Kampung Malaumkarta Raya (IKMR), sebagai forum komunikasi untuk meneguhkan komitmen menjaga hutan di wilayah kampung masing-masing agar tidak ada yang menjual kepada investor. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement