REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pakar Kriminologi dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengaku optimistis implementasi pasal terkait kohabitasi tidak akan melanggar hak asasi manusia (HAM). "Soal kohabitasi, optimistis. Kan kalimat dalam pasalnya amat jelas, yakni delik aduan," kata Adrianus, Rabu (14/12/2022).
Pernyataan tersebut ia ungkapkan ketika membahas mengenai penegakan pasal-pasal yang terkandung di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Adrianus optimistis bahwa penegakan Pasal 412 KUHP tentang hidup bersama tanpa pernikahan (kohabitasi) tidak akan melanggar atau mencederai HAM.
Pasal tersebut menjadi perdebatan publik dalam beberapa waktu terakhir. Terkait dengan perdebatan publik yang kini tengah berlangsung, Adrianus berpandangan bahwa sebaiknya para aparat penegak hukum tidak melawan wacana tersebut dengan wacana, tetapi melawan dengan perbuatan nyata.
"Caranya, bekerja sesuai prosedur, menegakkan ketentuan tanpa minta uang dan tanpa pakai kekerasan, apa adanya saja," kata Adrianus.
Dengan demikian, kekhawatiran masyarakat terkait pelanggaran HAM maupun pelanggaran batas-batas privasi dapat ditepis dengan aksi nyata. Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan bahwa pasal tentang kesusilaan dalam KUHP bertujuan untuk melindungi masyarakat dari tindak kesewenang-wenangan.
"Ketika pasal ini diatur di KUHP, pasti tidak ada penggerebekan dan tidak ada razia," kata Eddy, sapaan akrab Edward, dalam seminar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Ia menjelaskan, selama ini di beberapa daerah terdapat aturan yang membuat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) melakukan razia dan penggerebekan dengan memasuki hotel dan penginapan. Setelah pasal itu diatur dalam KUHP dan diberikan penjelasan, kata Eddy, maka semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak berlaku.
"Justru memberikan perlindungan dari kesewenang-wenangan Satpol PP di daerah," ucap Eddy.