Jumat 16 Dec 2022 16:22 WIB

Ancaman Resesi 2023, Investor Pikir Ulang Beli Properti pada 2023

Para pengembang properti sudah mulai mengeluhkan naiknya ongkos produksi.

Rep: Novita Intan/ Red: Indira Rezkisari
Pengunjung mendapat penjelasan soal hunian yang ditawarkan di pameran properti.
Foto: Prayogi/Republika.
Pengunjung mendapat penjelasan soal hunian yang ditawarkan di pameran properti.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang berakhirnya 2022 dan akan datangnya 2023, Rumah.com mengungkapkan arah pandang pasar dan tren properti 2023. Hal ini seiring pulihnya perekonomian pascapandemi dan didukung oleh mobilitas masyarakat yang sudah kembali normal.

Country Manager Rumah.com Marine Novita mengatakan tren pembelian properti kembali dilirik oleh para pembelinya baik konsumen akhir maupun investor. "Namun demikian, situasi pasar properti pada 2023 akan kembali menghadapi tantangan. Ancaman resesi dan kenaikan suku bunga global akan membuat penjual dan penyedia suplai hunian berhati-hati dalam membuat keputusan,” ujarnya, saat webinar, Jumat (16/12/2022).

Baca Juga

Penguatan dolar Amerika Serikat diperkirakan masih akan berlangsung lama, karena kondisi makroekonomi masih dalam ketidakpastian akibat perang Rusia-Ukraina serta kenaikan suku bunga federal Amerika Serikat. Dolar Amerika Serikat menguat tidak hanya terhadap rupiah melainkan juga mata uang lainnya namun rupiah jadi salah satu mata uang yang paling kuat bertahan dengan pelemahan yang relatif sedikit.

Salah satu kunci kuatnya rupiah adalah posisi Indonesia sebagai produsen komoditas khususnya terkait energi seperti batubara, gas, dan minyak nabati. Masalahnya, komoditas energi ini juga diperlukan dalam produksi bahan-bahan konstruksi bangunan seperti besi dan semen.

“Karena itu, para pengembang properti sudah mulai melaporkan dan mengeluhkan naiknya ongkos produksi yang berimbas pada kenaikan harga properti,” ucapnya.

Marine menyebut kenaikan harga bahan konstruksi bangunan hanya salah satu faktor dalam kenaikan indeks harga properti. Setidaknya ada dua faktor lain yaitu pertama, permintaan terhadap properti juga meningkat selama tiga kuartal terakhir mengiringi pulihnya ekonomi dari pandemi dan selesainya beberapa infrastruktur yang memudahkan akses pemukiman.

Kedua pendorong kenaikan indeks harga properti adalah suku bunga perbankan. Kebijakan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) tingkat 3,5 persen selama 18 bulan hingga awal semester dua 2022 mendorong perbankan untuk menurunkan suku bunga KPR dan KPA menjadi sekitar 7,7 persen secara rata-rata pada 2022, sehingga memudahkan mereka yang ingin membeli rumah.

“Dalam data terakhir yang kami himpun, suku bunga KPR per Oktober 2022 secara agregat masih belum mengalami kenaikan, walaupun tren penurunannya kemungkinan tidak akan berlanjut,” ucapnya.

Marine menjelaskan ancaman resesi memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Namun, ada beberapa hal yang bisa menciptakan keyakinan bahwa dampak resesi terhadap Indonesia tidak akan seburuk yang dikhawatirkan dan diperkirakan tidak akan lebih parah jika dibandingkan dengan dampak pandemi selama dua tahun ke belakang.

Semakin dekatnya pemilu 2024 akan membuat 2023 tidak lepas dari memanasnya suhu politik. Namun Marine menjelaskan sektor properti sebagai kebutuhan primer masyarakat selama ini terbukti sebagai sektor yang tangguh.

“Melihat histori dari tahun-tahun pemilu sebelumnya, laju penyaluran kredit hunian relatif resilient. Pada 2014 dan 2019 misalnya, laju penyaluran kredit hunian masih bisa tumbuh lebih baik dibanding kredit secara keseluruhan. Bahkan di tengah pandemi mulai 2020 dan juga 2021, penyaluran kredit hunian masih bisa tumbuh bahkan ketika kredit secara keseluruhan sempat turun,” jelasnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement