Rabu 21 Feb 2024 16:38 WIB

Jepang dan Inggris Resesi, BI Optimistis Ekonomi Dunia Tetap Tumbuh

Perry menyebut pertumbuhan ekonomi China yang masih lemah.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Tangkapan Layar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.
Foto: Tangkapan Layar
Tangkapan Layar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi Jepang dan Inggris kini resmi masuk ke jurang resesi karena pertumbuhan ekonomi yang minus dua kuartal berturut-turut. Meskipun begitu, Bank Indonesia (BI) tetap optimistis pertumbuhan ekonomi dunia lebih baik dari proyeksi sebelumnya di tengah ketidakpastian pasar keuangan yang masih tinggi.

"Ekonomi global diprakirakan tumbuh sebesar 3,1 persen pada 2023 dan 3,0 persen pada 2024 yang lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya masing-masing sebesar 3,0 persen dan 2,8 persen," kata Perry dalam konferensi pers RDG Bulanan BI Februari 2024, Rabu (21/2/2024). 

Baca Juga

Dia menjelaskan, perbaikan terutama ditopang lebih kuatnya kinerja ekonomi Amerika Serikat (AS) dan India. Hal tersebut sejalan dengan konsumsi dan investasi yang tinggi.

Sementara itu, Perry menyebut pertumbuhan ekonomi China yang masih lemah. Lalu juga kontraksi pertumbuhan ekonomi di Inggris dan Jepang yang telah terjadi dalam dua kuartal berturut-turut dapat menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi dunia.

Perry menambahkan, eskalasi ketegangan geopolitik yang masih berlanjut juga dapat mengganggu rantai pasokan. Selain itu juga meningkatkan harga komoditas pangan dan energi dan menahan laju penurunan inflasi global.

Perkembangan tersebut mengakibatkan ketidakpastian di pasar keuangan dunia masih tinggi. Suku bunga Fed Funds Rate (FFR) diperkirakan baru mulai menurun pada semester II 2024 sejalan dengan inflasi AS yang masih tinggi dan yield US Treasury kembali meningkat sejalan dengan premi risiko jangka panjang.

Perry menuturkan, perkembangan tersebut menyebabkan menguatnya dolar AS secara global, menahan berlanjutnya aliran masuk modal asing, dan meningkatkan tekanan pelemahan nilai tukar di negara emerging market. "Kondisi ini memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global tersebut, termasuk di Indonesia," ucap Perry.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement