Selasa 20 Dec 2022 19:59 WIB

Sejarawan Sebut tak Ada yang Istimewa dari Permintaan Maaf PM Belanda

Permohonan maaf resmi Belanda datang hampir 150 tahun setelah berakhirnya perbudakan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Indira Rezkisari
Sejarawan Anhar Gonggong menanggapi permohonan maaf PM Belanda atas perbudakan ke negara koloninya, termasuk Indonesia.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Sejarawan Anhar Gonggong menanggapi permohonan maaf PM Belanda atas perbudakan ke negara koloninya, termasuk Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan Anhar Gonggong tak melihat ada yang istimewa dari permintaan maaf Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, atas praktik perbudakan yang dilakukan negaranya selama 250 tahun di banyak negara, termasuk Indonesia. Permintaan maaf itu sebagai suatu hal yang sangat wajar ketika melihat konteks kekinian, di mana penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM) sudah menjadi bagian dari kehidupan.

"Itu hal yang menurut saya wajar saja dia lakukan karena kesadaran baru yang lahir dari dirinya, dari bangsanya, dan sebagainya. Apalagi dalam konteks sekarang, penghargaan kepada HAM itu sangat menjadi bagian daripada proses diri kita untuk diakui sebagai negara modern yang beradab," ujar Anhar kepada Republika, Selasa (20/12/2022).

Baca Juga

Anhar mengatakan, permintaan maaf dikeluarkan setelah melalui berbagai generasi, mulai dari abad ke-15, 16, hingga generasi saat ini. Di mana, pada abad ke-20 dan 21 terlahir kesadaran baru untuk menyatakan tindakan perbudakan tersebut sebagai tindakan yang salah. Dia menyebut Belanda kemungkinan memiliki beban psikologis dan politis dari apa yang pernah mereka lakukan di masa lampau.

"Jadi ada semacam pengakuan kesalahan yang dilakukan oleh karena ada kesadaran baru yang lahir dalam konteks situasi sekarang. Di mana HAM sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Bahwa kita harus menghargai HAM. Setiap manusia dalam dirinya ada haknya. Hak kemanusiaan yang tidak boleh dilanggar," kata dia.