REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH -- Badan-badan bantuan internasional menghentikan pekerjaan mereka di Afghanistan pada Senin (26/12/2022) setelah rezim Taliban melarang mereka mempekerjakan staf perempuan. Action Aid, Christian Aid, Save the Children, Dewan Pengungsi Norwegia, CARE, dan Komite Penyelamatan Internasional yang mempekerjakan 3.000 wanita di Afghanistan semuanya telah menangguhkan operasi.
“Christian Aid dengan cepat mencari kejelasan dan mendesak pihak berwenang untuk membatalkan larangan itu," kata Kepala Program Global Christian Aid Ray Hasan, dilansir dari Arab News, Selasa (27/12/2022).
Disaat bersamaan, dia harus menghentikan sementara program pekerjaannya. Padahal jutaan orang di Afghanistan sangat bergantung dengan bantuan dan lapangan kerja karena di ambang kelaparan.
"Jutaan orang di Afghanistan berada di ambang kelaparan. Laporan bahwa keluarga sangat putus asa sehingga mereka terpaksa menjual anak-anak mereka untuk membeli makanan benar-benar memilukan,” ungkapnya.
Hasan mengatakan larangan terhadap pekerja bantuan perempuan hanya akan membatasi kemampuan mereka untuk membantu semakin banyak orang yang membutuhkan. Action Aid mengatakan jika perempuan dilarang bekerja dengan mereka, itu akan mencegah mereka menjangkau setengah dari populasi yang sudah terguncang karena kelaparan.
“Action Aid telah membuat keputusan sulit untuk menghentikan sementara sebagian besar programnya di Afghanistan sampai gambaran yang lebih jelas muncul,” ujar dia.
Misi Bantuan PBB di Afghanistan mendesak pemerintahan Taliban membatalkan larangan tersebut. "Jutaan warga Afghanistan membutuhkan bantuan kemanusiaan dan menghilangkan hambatan itu sangat penting," katanya.
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyuarakan keprihatinannya atas larangan itu dan mendesak Taliban mempertimbangkannya kembali. Sekretaris Jenderal OKI Hissein Brahim Taha mengatakan itu mencerminkan kebijakan yang disengaja untuk lebih lanjut membatasi hak-hak perempuan Afghanistan.
Dia mengatakan keputusan yang membingungkan ini tidak hanya akan merampas sumber pendapatan perempuan Afghanistan untuk diri mereka sendiri dan keluarga mereka, tetapi juga secara serius mempengaruhi operasi kemanusiaan dan bantuan di Afghanistan.
Kepala OKI menggambarkan larangan itu merugikan diri sendiri dan mendesak pihak berwenang Kabul untuk mempertimbangkannya kembali. Hal ini demi inklusi sosial perempuan dan kelanjutan jaring pengaman kemanusiaan internasional yang sangat dibutuhkan di Afghanistan. Pekan lalu Taliban juga melarang perempuan masuk universitas, memicu kemarahan global dan protes di beberapa kota Afghanistan.