Kamis 05 Jan 2023 03:34 WIB

Penuhi Panggilan KPK, Ini yang Dikonfirmasi Penyidik ke Politikus Demokrat Syarief Hasan

Syarief mengaku menjelaskan soal tugas-tugasnya saat menjadi Menkop UKM.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Agus raharjo
Anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/9).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Periode 2009-2014 Syarief Hasan perihal alokasi penyaluran dana dari Kemenkop UKM kepada LPDB-KUMKM di Provinsi Jawa Barat. Syarief memenuhi panggilan KPK pada Rabu (4/1/2023).

Syarief yang saat ini menjabat Wakil Ketua MPR diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Direktur Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (LPDB-KUMKM) 2010-2017 Kemas Danial (KD) di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) KPK, Jakarta, Rabu.

Baca Juga

"Didalami pengetahuannya, antara lain, terkait dengan teknis dilakukannya alokasi penyaluran dana dari Kementerian Koperasi dan UMKM kepada LPDB-KUMKM di Provinsi Jawa Barat yang saat itu dipimpin tersangka KD," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Rabu (4/1/2023).

Pemeriksaan dilakukan dalam penyidikan kasus dugaan korupsi penyaluran dana bergulir oleh LPDB-KUMKM Tahun 2012-2013. Selain itu, kata Ali, penyidik mendalami pengetahuan saksi Syarief terkait pelaporan pertanggungjawaban atas penggunaan dana tersebut.

Sementara itu, Syarief mengaku menjelaskan kepada penyidik KPK soal tugas-tugasnya saat menjadi Menkop UKM. "Hanya tugas-tugas menteri di bidang pengawasan," kata dia dalam keterangannya, Rabu.

KPK menetapkan empat tersangka kasus tersebut, yaitu KD, Ketua Pengawas Koperasi Pedagang Kaki Lima Panca Bhakti (Kopanti) Jabar Dodi Kurniadi (DK), Sekretaris II Kopanti Jabar Deden Wahyudi (DW), dan Direktur PT Pancamulti Niagapratama (PN) Stevanus Kusnadi (SK).

Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan pada 2012, SK selaku Direktur PT PN menemui KD dengan maksud menawarkan bangunan Mal Bandung Timur Plaza (BTP) yang kondisi bangunannya belum selesai seratus persen.

Tawaran SK itu, antara lain agar KD dapat membantu dan memfasilitasi pemberian pinjaman dana dari LPDB-KUMKM. KD menyetujui penawaran tersebut dan merekomendasikan SK untuk segera menemui Andra A Ludin selaku Ketua Pusat Kopanti Jabar agar bisa mengkondisikan teknis pengajuan pinjaman dana bergulir melalui permohonan ke Kopanti Jabar.

Sesuai arahan KD, selanjutnya Andra A Ludin meminta DK mengajukan permohonan pinjaman sebesar Rp 90 miliar ke LPDB-KUMKM yang digunakan untuk pembelian kios di Mal BTP seluas 6.000 meter persegi yang akan diberikan kepada 1.000 pelaku UMKM.

KPK mengungkapkan data pelaku UMKM yang dilampirkan tidak mencapai 1.000 orang dan diduga fiktif. Namun, tetap dipaksakan agar dana bergulir tersebut bisa segera dicairkan melalui pembukaan rekening bank yang dikoordinir DW.

Agar penyaluran dana bergulir segera terealisasi, KD kemudian membuat surat perjanjian kerja sama dengan Kopanti Jabar tanpa mengikuti dan memedomani analisa bisnis dan manajemen risiko.

Untuk periode 2012-2013, KPK menyebut telah disalurkan pinjaman dana bergulir kepada 506 pelaku UMKM binaan Kopanti Jabar sebesar Rp 116,8 miliar dengan jangka waktu pengembalian selama 8 tahun. Adapun uang sebesar Rp 116,8 miliar tersebut seluruhnya kemudian di-autodebet melalui rekening bank milik Kopanti Jabar dan selanjutnya dibayarkan ke rekening Bank PTPN milik SK sebesar Rp 98,7 miliar.

KPK mengungkapkan dikarenakan pengembalian pinjaman yang dapat dilakukan SK hanya sebesar Rp 3,3 miliar dan masuk kategori macet sehingga KD mengeluarkan kebijakan untuk mengubah masa waktu pengembalian menjadi 15 tahun.

KPK menduga KD selanjutnya menerima uang sekitar Rp 13,8 miliar dan fasilitas kios usaha ayam goreng di Mal BTP dari SK. Sedangkan DK dan DW diduga turut menikmati dan mendapatkan fasilitas berupa mobil dan rumah dari Kopanti Jabar. Akibat perbuatan para tersangka diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 116,8 miliar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement