REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ilmuwan telah mengembangkan tes darah sebagai terobosan baru untuk mendiagnosa penyakit Alzheimer. Dikutip dari BestLife Online pada Rabu (4/1/2023), penelitian tersebut diterbitkan di Brain pada 27 Desember 2022 lalu, diketahui pemeriksaan Alzheimer saat ini melibatkan pemindaian mahal, atau pungsi lumbal yang menyakitkan.
“Tes darah lebih murah, lebih aman, dan juga mudah dilakukan. Selain itu dapat meningkatkan kepercayaan klinis dalam mendiagnosis Alzheimer dan memilih peserta untuk uji klinis dan pemantauan penyakit,” ungkap Profesor Thomas Karikari di Universitas dari Pittsburgh, yang terlibat dalam penelitian tersebut.
Penyakit Alzheimer adalah gangguan neurodegeneratif progresif yang memengaruhi ingatan, pemikiran, dan perilaku. Ini adalah penyebab paling umum dari demensia pada orang dewasa yang lebih tua. Deteksi dini penyakit ini dapat menyebabkan pengobatan lebih dini, berpotensi mengurangi efek yang memburuk.
Tiga tanda utama penyakit Alzheimer adalah berkumpulnya fragmen protein abnormal yang terbentuk di antara sel-sel saraf di otak, atau dikenal sebagai plak amiloid. Disusul dengan kekusutan neurofibrillary, yaitu terdapat untaian protein bengkok yang menumpuk di dalam sel saraf di otak. Terakhir, Neurodegenerasi yaitu hilangnya sel saraf dan koneksi di otak, yang menyebabkan atrofi (penyusutan) jaringan otak.
Ketiga tanda itu saja tidaklah cukup untuk mendiagnosis penyakit Alzheimer, karena tanda tersebut juga dapat ditemukan pada kondisi neurologis lainnya. Diagnosis pasti penyakit Alzheimer hanya dapat dilakukan melalui evaluasi komprehensif yang mencakup riwayat medis menyeluruh, pemeriksaan fisik dan neurologis, serta tes pencitraan dan laboratorium.
Tes darah baru dapat melewati beberapa langkah ini. Hal ini tentu akan menjadi kabar baik bagi mereka yang ingin melakukan tes dengan harga sesuai, dan ingin menghindari pungsi lumbal, dimana sampel cairan serebrospinal (CSF) diambil dari punggung bawah.
“Banyak pasien, bahkan di AS, tidak memiliki akses ke pemindai MRI dan PET. Aksesibilitas adalah masalah utama,” kata Profesor Karikari.
Tes baru dapat mendeteksi penanda baru degenerasi saraf penyakit Alzheimer dalam sampel darah. Biomarker, yang disebut 'brain-derived tau,' atau BD-tau, mengungguli tes diagnostik darah saat ini yang digunakan untuk mendeteksi neurodegenerasi terkait Alzheimer secara klinis. Ini khusus untuk penyakit Alzheimer dan berkorelasi baik dengan biomarker neurodegenerasi Alzheimer dalam cairan serebrospinal (CSF).
“Utilitas biomarker darah yang paling penting adalah untuk membuat hidup orang lebih baik dan untuk meningkatkan kepercayaan klinis dan prediksi risiko dalam diagnosis penyakit Alzheimer,” katanya lagi.
Tes ini masih dipelajari untuk efektivitas. Karikari dan timnya berencana untuk melakukan validasi klinis skala besar darah BD-tau dalam berbagai kelompok penelitian, termasuk yang merekrut peserta dari berbagai latar belakang ras dan etnis, dari klinik ingatan, dan dari masyarakat.
“Selain itu, studi ini akan mencakup orang dewasa yang lebih tua tanpa bukti biologis penyakit Alzheimer serta mereka yang berada pada tahap penyakit yang berbeda. Proyek ini sangat penting untuk memastikan bahwa hasil biomarker dapat digeneralisasikan untuk orang dari semua latar belakang, dan akan membuka jalan. untuk membuat BD-tau tersedia secara komersial untuk penggunaan klinis dan prognostik secara luas,” kata tim peneliti dari University of Pittsburgh, dalam sebuah pernyataan.