REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Arie Budhiman, mengungkapkan, sebanyak 40 persen ASN pelanggar netralitas sepanjang 2020-2022 berusia di atas 50 tahun. Bahkan, kata Arie, di antara mereka sudah ada yang menduduki jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya setingkat eselon I.
"Meskipun sudah lama menjadi ASN, namun ternyata simpul pelanggaran netralitas oleh mereka adalah ketidakpahaman akan regulasi, karena tidak ada kesadaran untuk membaca rambu-rambu atau peraturan perundang-undangan netralitas ASN dengan komprehensif," jelas Arie dikutip dari laman resmi KASN, Senin (9/1/2023).
Arie melanjutkan, temuan tersebut juga memantik kekhawatiran mengenai kondisi ASN milenial saat ini. Dia meminta ASN milenial unguk membaca ketentuan-ketentuan yang terkait pelanggaran netralitas. Mereka harus mampu memahami mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh ASN beserta sanksi yang menanti jika dilanggar.
"Jadi, untuk teman-teman milenial, baca, baca, dan bacalah. Untuk ketentuan-ketentuan yang terkait pelanggaran netralitas, apa saja yang boleh dan tidak boleh, serta sanksi terkait. ASN milenial justru harus jadi pembaharu, menggerakkan internal menjadi ASN untuk netral," kata Arie.
Dia mengungkapkan, dalam mengawasi netralitas ASN, ada beberapa rekomendasi yang telah disusun oleh KASN. Pertama, tantangan pengawasan netralitas pada pemilu dan pemilihan serentak 2024 semakin dinamis dan kompleks, maka perlu diperhatikan motif politisasi birokrasi, birokrasi berpolitik, dan kepentingan lainnya.
"Lalu membangun komitmen dan narasi positif antarlembaga pengawas melalui kolaborasi kolegial menuju soliditas, bukan rivalitas birokrasi," jelas dia.
Ketiga, pengawasan mengedepankan prinsip pencegahan dan perlindungan ASN serta aktivasi pembinaan dan pengawasan internal instansi pemerintah masing-masing. Selanjutnya, kolaborasi instansi pemerintah yang diharapkan mendapat dukungan dari KORPRI dan Forsesdasi.
"Setop pelanggaran netralitas ASN, di mana ASN perlu fokus mengedepankan kewajiban profesional, integritas, dan komitmen netralitas dibandingkan dengan tuntutan atas hak kepentingan pribadi ASN yang bersangkutan," terang dia.
Beberapa waktu lalu, untuk menjamin terjaganya netralitas ASN, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai ASN dalam Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada.
"Tentu kegiatan ini amat sangat penting dalam upaya untuk mewujudkan birokrasi yang netral serta SDM ASN yang bisa men-support agenda pemerintah yaitu salah satunya pemilihan umum yang nanti akan digelar," ujar Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB), Abdullah Azwar Anas.
Menurut Anas, ASN memiliki asas netralitas yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Dalam aturan tersebut termaktub, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
ASN juga diamanatkan untuk tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Ketidaknetralan ASN akan berdampak sangat merugikan negara, pemerintah, dan masyarakat.
"Karena apabila ASN tidak netral maka dampak yang paling terasa adalah ASN tersebut menjadi tidak profesional dan justru target-target pemerintah di tingkat lokal maupun di tingkat nasional tidak akan tercapai dengan baik," jelas mantan Bupati Banyuwangi itu.
ASN perlu mencermati potensi gangguan netralitas yang bisa terjadi dalam setiap tahapan Pemilu dan Pilkada. Potensi gangguan netralitas dapat terjadi sebelum pelaksanaan tahapan pilkada, tahap pendaftaran bakal calon kepala daerah, tahap penetapan calon kepala daerah, maupun pada tahap setelah penetapan kepala daerah yang terpilih.