Rabu 18 Jan 2023 18:04 WIB

Luhut Imbau Pemda Lawan OTT, KPK Ingatkan Pejabat Jauhi Korupsi

KPK menegaskan akan tetap menggelar OTT jika ditemukan dugaan korupsi.

Red: Andri Saubani
Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Sudrajad Dimyati (kiri) saat dihadirkan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta, Jumat (23/9/2022). Sudrajad Dimyati menjadi satu tersangka yang masuk dalam 10 operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 2022. (ilustrasi)
Foto:

Pakar Hukum dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang mengajak pemerintah daerah melawan OTT dan mengurangi praktik korupsi dengan cara mengubah ekosistem pemerintahan jadi serbadigital, dianggap kurang tepat. Apabila pernyataan itu dipakai alasan kepala daerah atau pejabat melakukan perlawanan terhadap upaya OTT KPK, menurut Feri, justru ia bisa dikenakan pasal penghasutan, karena bisa menghalang-halangi upaya penegakkan hukum.

"Saya pikir Pak Luhut bisa dikenakan tindakan penghasutan dalam upaya menggalang halangi aparat hukum dalam menegakkan dan menjalankan fungsi hukumnya. Pernyataan itu menunjukkan memang Pak Luhut tidak paham betul hukum, dan bagaimana seharusnya pejabat menghormati hukum," kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) ini kepada wartawan, Rabu (18/1/2023).

Karena itu, Feri menekankan agar pejabat atau kepala daerah lebih baik sama sekali tidak melakukan korupsi, bila tidak ingin ada OTT. Karena kalau melakukan perlawanan saat KPK melakukan OTT, seperti yang disampaikan Menko Marves, justru bisa dikenakan pasal menghalang-halangi penegakkan hukum.

"Jadi saya pikir kalau akhirnya ada kepala daerah atau pejabat yang melakukan perlawanan dan penolakan terhadap OTT atas dasar pernyataan Pak Luhut itu, maka Pak Luhut bisa dikenakan pasal penghasutan," imbuhnya.

Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda menilai pernyataan Luhut soal penerapan digitalisasi mempersempit korupsi dan penolakan kepala daerah terhadap OTT KPK itu, harus dilihat konteksnya. Ia khawatir, jangan sampai ada pejabat yang menerima pernyataan tersebut di luar konteksnya.

"Saya kira harus dipahami konteksnya ya pernyataan Pak Luhut itu. Jika maksudnya bahwa seharusnya KPK mengedepankan fungsi preventif, artinya OTT sebagai tindakan represif KPK tentu menjadi dapat dipandang negatif," kata dia.

Karena itu, menurut Choirul Huda, tidak bisa pernyataan itu lepas dari konteksnya, harus bisa dipahami mengapa Pak Luhut berpendapat seperti itu. Sehingga ia berharap pernyataan Pak Luhut itu, tidak menimbulkan multitafsir yang tidak tetap di lapangan.

Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mendukung kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan kasus-kasus korupsi. Salah satunya adalah OTT yang dinilainya sebagai upaya cepat untuk menangkap koruptor.

Menurut Sahroni, OTT dilakukan KPK ketika sudah mengantongi bukti kuat menindak para terduga koruptor. Apalagi sejumlah OTT terjadi ketika koruptor tengah melakukan transaksi yang berhubungan dengan kasusnya.

"Kalau memang ini dramatis, apa salahnya publik melihat langsung ada maling ditangkap? Kalau bisa ditangkap saat kejadian kenapa tidak. Sebab proses pembuktian jadi berlangsung lebih cepat dan mudah karena adanya barang bukti," ujar Sahroni lewat keterangannya yang sudah dikonfirmasi, Rabu (18/1/2023).

Di samping OTT, KPK juga perlu memperkuat sistem pengawasan dan pencegahan korupsi. KPK harus terus mengkaji dan mengevaluasi secara berkala agar sistem pencegahan berjalan dengan baik. 

"Tutup rapat-rapat segala celah korupsi. Dengan begitu saya yakin kita dapat lebih efektif dan efisien," ujar Sahroni.

 

photo
Mahkamah Agung menerbitkan Perma No 1 tahun 2020, dimana aturan ini memungkinkan hakim untuk menjatuhkan pidana penjara seumur hidup bagi koruptor.re - (republika.do.id)

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement