REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Guru yang menjadi korban penembakan muridnya di Richneck Elementary School di Newport News, Virginia, Amerika Serikat (AS), akan menuntut otoritas sekolah tersebut. Sekolah dianggap mengabaikan banyak peringatan atas ancaman penembakan.
Guru yang tertembak itu bernama Abigail Zwerner (25 tahun). Dia selamat, tapi mengalami luka cukup serius.
Pengacara Zwerner, Diane Toscano, mengatakan, pihak Richneck Elementary School telah diperingatkan kliennya sebanyak tiga kali ketika insiden penembakan terjadi pada 6 Januari lalu. Beberapa guru lainnya di sekolah tersebut pun sempat menyampaikan peringatan serupa.
Pada pagi 6 Januari, Zwerner menyampaikan kepada administrator sekolah bahwa anak berusia enam tahun yang menjadi pelaku penembakan mengancam akan memukuli anak lain di kelasnya. “Tapi administrasi sekolah tak bisa diganggu,” kata Toscano, Rabu (25/1/2023).
Satu jam setelah Zwerner menyampaikan laporannya, seorang guru lainnya memberitahu administrator sekolah bahwa anak yang menjadi pelaku penembakan tampaknya membawa senjata api. Guru tersebut sempat memeriksa tas anak terkait, tapi tak menemukan senjata. Dia curiga anak itu menyembunyikan senjatanya di sakunya.
Setelah itu, terdapat guru lain yang menyampaikan kepada administrator sekolah bahwa seorang muridnya telah melapor padanya. Murid tersebut, dalam kondisi menangis, mengaku telah melihat senjata api dan sempat diancam oleh anak yang menjadi pelaku penembakan.
Setelah serangkaian laporan itu, pihak sekolah tak mengambil tindakan apa pun. Guru tak bisa mengambil tindakan karena seorang staf sekolah dilarang melakukan penggeledahan secara fisik. Menanggapi laporan-laporan yang masuk, seorang administrator mengatakan, anak laki-laki berusia enam tahun itu “memiliki sedikit kantong”.
Administrator menyebut masalah itu dapat dibiarkan sampai jam sekolah berakhir. “Tragisnya hampir satu jam kemudian, kekerasan terjadi di Richneck Elementary School. Abby Zwerner ditembak di depan anak-anak yang ketakutan itu,” kata Toscano.
“Tragedi ini sepenuhnya dapat dicegah jika administrator sekolah yang bertanggung jawab atas keselamatan sekolah telah melakukan bagian mereka dan mengambil tindakan ketika mereka mengetahui bahaya yang akan terjadi,” ujar Toscano menambahkan.
Zwerner selamat dari tembakan di dada dan sekarang sedang memulihkan diri di rumah. Namun dia masih harus menjalani serangkaian operasi. Sementara itu, orang tua dari anak yang melakukan penembakan mengatakan bahwa putra mereka mengidap “disabilitas akut”.
Salah satu orang tuanya biasanya mendampingi anak tersebut ke sekolah. Namun ketika insiden penembakan terjadi pada 6 Januari lalu, anak itu sedang tidak ditemani orang tuanya. Keterangan terkait disabilitas akut yang dialami anak enam tahun tersebut diungkap keluarganya lewat kantor pengacara mereka, James S. Ellenson, 19 Januari lalu. Itu menjadi pernyataan perdana dari pihak keluarga sejak insiden penembakan terjadi.
Dalam keterangan persnya, keluarga anak tersebut menjelaskan anaknya berada di bawah rencana perawatan di sekolah. Mereka, yakni kedua orang tua, akan mendampinginya ke sekolah setiap hari. Terkait hal ini, mereka tak menjelaskan secara spesifik tentang apa yang dimaksud dengan “mendampingi sang anak setiap hari ke sekolah”. Tak diterangkan pula apakah mereka turut hadir di kelas dan mengikuti proses belajar mengajar atau tidak.
Mereka juga tak memaparkan apa maksudnya “rencana pengasuhan” untuk anaknya. Namun menurut James S. Ellenson, program pengasuhan itu bernama individualized education program (IEP). Program tersebut diberikan kepada siswa penyandang disabilitas di bawah undang-undang federal. Ketika ditanya apakah kecacatan itu intelektual atau perilaku, Ellenson mengatakan itu "semuanya di atas”.
Keluarga kemudian menerangkan mengapa mereka tidak bisa mendampingi anaknya saat insiden penembakan terjadi pada 6 Januari lalu. Mereka mengklaim, itu merupakan pertama kalinya mereka tak menemani anaknya. “Kami akan menyesali ketidakhadiran kami pada hari itu (penembakan) selama sisa hidup kami,” ujar mereka.
Kemudian keluarga sang anak turut menjelaskan tentang kepemilikan senjata api. Mereka mengaku membeli pistol berkaliber 9 milimeter secara legal. Pistol itu yang digunakan oleh anaknya saat melakukan penembakan.
"Keluarga kami selalu berkomitmen untuk memiliki senjata yang bertanggung jawab dan menjauhkan senjata api dari jangkauan anak-anak. Senjata api yang diakses putra kami diamankan,” kata keluarga yang tidak dipublikasikan identitasnya tersebut.
Dalam pernyataannya, keluarga sang anak tak menjelaskan bagaimana pistol mereka bisa “dicuri”. Namun James S Ellenson mengungkapkan, sepemahamannya, pistol tersebut disimpan di lemari ibunya di rak paling atas. Tingginya hampir dua meter.
Selain itu, pistol tersebut memiliki kunci pemicu yang membutuhkan kunci. Bentuknya mirip kunci sepeda. Namun Ellenson pun tak bisa menjawab tentang bagaimana anak yang disebut memiliki disabilitas akut itu dapat mengambil senjata milik orang tuanya. “Kami tidak tahu,” ujarnya.