REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, turunnya skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 dari 38 menjadi 34 merupakan sebuah ironi. Hasil tersebut pun dinilai menjadi bukti bahwa lembaga antirasuah ini tidak bisa bekerja sendiri untuk memberantas korupsi.
"IPK kita, Indeks Persepsi Korupsi yang saat ini terjun bebas dari 38 menjadi 34 ini tentu menjadi kerisauan dan ironi kita semua, dan ini juga menunjukkan bahwa kerja-kerja kita semua tidak bisa hanya dari hilir," kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron di Jakarta, Kamis (2/2/2023).
Ghufron mengatakan, dibutuhkan pembenahan sistem dan integritas untuk memperbaiki IPK Indonesia selanjutnya. Perbaikan itu juga tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan penindakan.
"Enggak cukup 'Pak ditangkapi, ditangkapi, ditangkapi', tapi sistemnya tidak ada pembenahan, komitmennya tidak ada pembenahan, integritasnya tidak ada pembenahan," ujarnya.
Menurut Ghufron, penangkapan para pelaku korupsi menunjukkan adanya sistem yang lemah. Oleh karena itu, dia menuturkan, harus ada perbaikan yang dilakukan untuk menutup celah korupsi dan diyakini mampu meningkatkan skor IPK Indonesia kedepannya.
"Yang terbaik adalah layanan negara bagi rakyat, kalau sudah hadir negara melayani kita, maka tidak korup," tutur Ghufron.
Sebelumnya diberitakan, Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia pada tahun 2022 merosot empat poin menjadi 34 dari tahun sebelumnya sebesar 38. Perolehan ini juga membuat posisi Tanah Air berada di peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei atau melorot 14 tangga dari tahun 2021 yang mencapai ranking 96.
Adapun skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih. Transparency International Indonesia (TII) merilis IPK Indonesia 2022 mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik pada 180 negara dan teritori.