REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Taiwan telah mengerahkan jet tempur guna menyiagakan angkatan lautnya dan mengaktifkan sistem rudal sebagai tanggapan atas operasi 34 pesawat militer China dan sembilan kapal perang di dekat Taiwan. Aksi China ini merupakan bagian dari strategi Beijing untuk membuat resah dan mengintimidasi Taiwan.
Pengerahan armada China berskala besar dilakukan saat Beijing meningkatkan persiapan untuk potensi blokade atau serangan langsung terhadap Taiwan. Aksi ini telah menimbulkan kekhawatiran besar di antara para pemimpin militer di Amerika Serikat, sekutu utama Taiwan.
Dalam sebuah memo bulan lalu, Jenderal Angkatan Udara AS Mike Minihan menginstruksikan para perwira untuk bersiap menghadapi konflik AS-China atas Taiwan pada tahun 2025. Sebagai kepala Komando Mobilitas Udara, Minihan memiliki pemahaman yang tajam tentang militer China dan pernyataan pribadinya bergema di AS untuk peningkatan persiapan militer tersebut.
Kementerian Pertahanan Taiwan mengatakan bahwa 20 pesawat China pada hari Selasa (31/1/2023) melintasi garis tengah di Selat Taiwan yang telah lama menjadi zona penyangga tidak resmi antara kedua pihak. Kawasan ini terbagi di saat perang saudara pada tahun 1949.
China sampai saat ini masih mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya sendiri untuk direbut secara paksa, sementara sebagian besar orang Taiwan menentang untuk berada di bawah kendali Partai Komunis China yang otoriter.
"Angkatan bersenjata Taiwan "memantau situasi ... untuk menanggapi kegiatan ini", kata perwakilan Kementerian Pertahanan Taiwan pada hari Rabu, (1/2/2023).
China diketahui telah mengirim kapal perang, pengebom, jet tempur, dan pesawat pendukung ke wilayah udara dekat Taiwan hampir setiap hari. Langkah itu dilakukan dengan harapan dapat melemahkan sumber daya pertahanan negara pulau itu, sekaligus melemahkan dukungan untuk Presiden Taiwan pro-kemerdekaan Tsai Ing-wen.
Sementara itu, jet tempur China juga menghadapi pesawat militer dari AS dan negara-negara sekutu di wilayah udara internasional di laut China Selatan dan laut China Timur. Bagi Beijing posisi pesawat militer AS ini digambarkan sebagai manuver berbahaya dan mengancam.
Serangkaian kunjungan dalam beberapa bulan terakhir oleh politisi negara sekutu ke Taiwan, termasuk oleh Ketua DPR AS saat itu Nancy Pelosi dan banyak politisi dari Uni Eropa, memicu pertunjukan kekuatan militer dari kedua belah pihak.
Menanggapi kunjungan Pelosi pada Agustus, China menggelar latihan perang di sekitar pulau itu dan menembakkan rudal ke Samudera Pasifik. China juga telah berulang kali mengancam pembalasan terhadap negara-negara yang mencari hubungan lebih dekat dengan Taiwan, tetapi upaya intimidasinya telah memicu reaksi sentimen di Eropa, Jepang, AS, dan negara-negara lain.
Kini Taiwan akan mengadakan pemilihan presiden tahun depan. Sangat berbeda dengan sistem kontrol total China oleh presiden dan Sekretaris Jenderal partai Xi Jinping, yang telah menghapus batasan masa jabatan dan menjadikan Xi Jinping pemimpin seumur hidup. Upaya China untuk menjangkau Partai Nasionalis pro-unifikasi Taiwan sebagian besar telah menjadi bumerang bagi Beijing.
Meskipun Nasionalis tampil baik dalam pemilihan lokal tahun lalu, kebijakan partai yang pro-Beijing gagal menemukan resonansi di kalangan pemilih di tingkat nasional. Sementara Taiwan telah menanggapi ancaman China ketika memesan lebih banyak persenjataan defensif dari AS, memanfaatkan demokrasi dan ekonomi teknologi tinggi untuk memperkuat hubungan luar negeri dan merevitalisasi industri senjata dalam negerinya.
Di Taiwan, wajib militer untuk pria telah diperpanjang dari empat bulan menjadi satu tahun, dan survei opini publik menunjukkan tingkat dukungan yang tinggi demi peningkatan pengeluaran pertahanan untuk melawan ancaman Tiongkok.
Dalam sebuah wawancara bulan lalu, utusan Taiwan untuk AS mengatakan negara itu telah mengambil pelajaran penting dari perang Ukraina. Dan selanjutnya akan selalu mencegah setiap serangan oleh Tiongkok atau mempertahankan diri jika diserang.
Duta besar de-facto Taiwan di Washington, Bi-khim Hsiao, mengatakan ada hal baru dalam mempersiapkan cadangan militer dan warga sipil untuk jenis pertarungan seluruh masyarakat yang dilancarkan Ukraina melawan Rusia.
“Semua yang kami lakukan sekarang adalah untuk mencegah rasa sakit dan penderitaan tragedi Ukraina terulang dalam skenario kami di Taiwan,” kata Hsiao kepada The Associated Press.
“Jadi pada akhirnya, kami berusaha untuk mencegah penggunaan kekuatan militer. Tetapi dalam skenario terburuk, kami memahami bahwa kami harus lebih siap," ujarnya.