REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Film SAS: Red Notice yang segera tayang di bioskop Indonesia sarat kritik soal dunia militer. Namun, amat terasa pula keberpihakan dalam film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya mantan tentara Inggris, Andy McNab, itu.
Film bermula dengan narasi soal psikopat, yang hanya ada sekian persen di antara warga dunia. Segelintir orang itu tidak memiliki perangkat emosional seperti manusia pada umumnya, juga tidak punya kemampuan untuk mencintai.
Membunuh bukan hal sulit bagi mereka. Narasi itu lantas berlanjut dengan adegan perusahaan militer swasta Black Swan "menghabisi" warga sebuah desa di Republik Georgia.
Kekejian tanpa ampun itu merupakan pesanan dari pemerintah Inggris yang punya kepentingan membangun sesuatu di desa itu. Konflik terus bergulir, melibatkan Special Air Service (SAS), pasukan elite Inggris yang memburu Black Swan pascaterbitnya perintah penangkapan red notice.
Pasalnya, tiga anggota Black Swan merupakan warga negara Amerika Serikat yang lama menetap di Inggris. Salah satu kritik paling mengemuka menyoal praktik politik yang kotor dalam pemerintahan.
Dalam film ini, pihak penguasa dikisahkan punya cara-cara brutal melanggengkan kekuasannya, namun tidak ingin terlihat bahwa itu merupakan perbuatan mereka. Meski selalu menggunakan jasa Black Swan, saat dunia mulai mengecam, penguasa malah berbalik memosisikan Black Swan jadi kambing hitam.