REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) menegaskan tetap berkomitmen untuk menggunakan berbagai kemampuan militer mereka, termasuk nuklir, untuk membela Korea Selatan (Korsel), kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Jumat (3/2/2023).
Pernyataan itu disampaikan saat orang-orang di Korsel mulai mempertanyakan perlunya negara mereka untuk mempertimbangkan persenjataan nuklir mereka sendiri.
Diplomat tertinggi AS itu menegaskan kembali komitmen AS tersebut tidak perlu diragukan.
"Kami berkomitmen untuk membela Republik Korea menggunakan berbagai kemampuan kami - kemampuan pertahanan nuklir, konvensional dan rudal," kata Blinken dalam konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Korsel Park Jin menyusul perundingan bilateral mereka di Washington.
"Jadi, tidak boleh ada keraguan dalam pikiran siapapun, mulai dari Pyongyang, tentang komitmen kami membela sekutu kami, mitra kami, teman-teman kami, dan untuk memperluas upaya pencegahan," tambahnya.
Perluasan upaya pencegahan tersebut merujuk pada komitmen AS untuk menggunakan semua kemampuan militeruntuk membela Korsel ketika diperlukan.
Sejumlah orang di Korsel mulai mempertanyakan kemungkinan, serta kemauan AS untuk menyediakan kemampuan semacam itu secara tepat waktu di tengah kemampuan nuklir Korea Utara (Korut) yang berkembang.
Pyongyang melakukan lebih dari 90 uji coba rudal pada 2022 saja, sementara menembakkan 69 rudal balistik yang menandai rekor baru rudal balistik yang diluncurkan dalam satu tahun. Rekor tahunan sebelumnya adalah 25.
"Hari ini kami menegaskan kembali komitmen kami untuk meningkatkan pertahanan sekutu kami terhadap ancaman bersama, serta komitmen kami untuk membela Republik Korea, menggunakan kemampuan penuh AS, termasuk kemampuan pertahanan nuklir, konvensional dan rudal," kata Blinken, merujuk pada nama resmi Korsel.
Diplomat tertinggi AS itu menambahkan bahwa aliansi tersebut "adalah kunci perdamaian, stabilitas dan kemakmuran di kawasan, dan siap untuk tumbuh lebih kuat lagi."
Sementara, Menteri Luar Negeri Korsel Park menekankan pentingnya upaya denuklirisasi Semenanjung Korea.
"Menteri Blinken dan saya juga menegaskan kembali tekad kami yang tak tergoyahkan untuk denuklirisasi Korut," kata Park tentang perundingannya dengan rekannya dari AS itu.
"Ini adalah prioritas utama dan pusat dari upaya bersama kami untuk membangun perdamaian yang berkelanjutan di Semenanjung Korea. Damai tanpa denuklirisasi adalah perdamaian palsu."
Seoul dan Washington mengatakan bahwa Korut dapat melakukan apa yang akan menjadi uji nuklir ketujuh mereka "kapan saja."
Korut melakukan uji coba nuklir keenam dan terakhirnya pada September 2017.
Park mengatakan sekutu tersebut akan bekerja untuk "menutup celah" dalam resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Korut dan memutus aliran pendapatan ilegal Pyongyang dengan melawan aktivitas dunia maya mereka yang ilegal.
"Program nuklir dan rudal Korut merupakan ancaman langsung dan serius tidak hanya bagi Korea tetapi juga perdamaian dan keamanan internasional," kata Park dalam konferensi pers gabungan.
Gedung Putih sebelumnya mengatakan Korut mengamankan hingga 30 persen dananya untuk program pengembangan senjata ilegal mereka melalui aktivitas siber ilegal yang mencakup pencurian mata uang kriptodan pencucian uang.
Menandai peringatan 70 tahun penandatanganan Perjanjian Pertahanan Bersama pada 1953, Seoul dan Washington juga akan bekerja sama untuk memperluas "Aliansi Strategis Komprehensif Global" mereka, menurut Park.
"Kami akan memperluas cakupan aliansi untuk mencakup tidak hanya kemitraan politik, militer dan ekonomi, tetapi juga dimensi teknologi dan budaya," katanya.
Menyusul perundingan bilateral mereka di Departemen Luar Negeri AS, Park dan Blinken menandatangani kesepakatan tentang kerja sama sains dan teknologi.
Menurut juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price, kesepakatan tersebut termasuk komponen baru yang akan semakin memperkuat kerja sama bilateral kedua negara dan memperluas perjanjian, yang semula ditandatangani pada 1999.
Park mengatakan mereka juga mendiskusikan kemungkinan pertemuan puncak antara Presiden Korsel Yoon Suk Yeol dan Presiden AS Joe Biden.
"Kami terus mengadakan konsultasi dengan AS terkait kunjungan Presiden Yoon ke AS, tetapi belum ada yang pasti," katanya saat bertemu dengan wartawan kemudian.
Kedua belah pihak disebutkan mendorong pelaksanaan pertemuan puncak paling cepat bulan depan, dan selambatnya pada paruh pertama tahun ini.
Jika dilaksanakan, pertemuan antara Biden dan Yoon akan menjadi pertemuan kedua antara kedua pemimpin setelah pertemuan pertama mereka di Seoul pada Mei 2022.
Menteri Luar Negeri Korsel tiba di Washington pada Rabu, menyusul kunjungan singkat ke New York. Dia dijadwalkan akan kembali ke Tanah Air pada Sabtu.