REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diimbau bertindak cepat menangani 36 anak-anak siswa pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal atau tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegaldi Malaysia. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi keberlangsungan mereka menatap masa depan.
“Bapak mereka memang punya masalah, tapi anak mereka tetap punya hak asasi untuk mendapatkan pendidikan. Itu adalah warga negara Indonesia yang wajib dilindungi. Undang-undang Sisdiknas mengatakan semua warga negara wajib diberikan pendidikan Dasar menengah,” kata dia kepada awak media, Ahad (5/2).
Politisi Demokrat ini menegaskan pihaknya akan memanggil pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Baginya, mulai dari Kemendikbud, Kemenlu, Kemensos hingga Dubes Indonesia untuk Malaysia, keseluruhannya harus ikut bertanggungjawab membereskan masalah hak pendidikan anak-anak PMI tersebut.
“Semua harus bertanggung jawab, bukan hanya Kemendikbud, Kemenlu, dan urusan Dubes saja. Kementerian Sosial harus membuat sebuah aturan MoU dengan Malaysia terkait anak-anak Pekerja Migran, Jangan sampai anak-anak pekerja migran tidak bisa sekolah,” jelas dia.
Dede pun meminta Kemendikbud untuk segera mengirimkan guru-guru resmi ke lokasi-lokasi PMI ilegal di Malaysia. Pasalnya, sanggar-sanggar belajar di daerah pinggiran Malaysia justru banyak diisi oleh relawan-relawan yang tidak dibayar negara.
“Negara harus turun tangan. Itu solusi dari kami siapkan anggarannya, Pemerintah maupun Kemendikbud tentu (wajib) membantu sanggar-sanggar belajar itu. Kirim guru yang resmi dan terdokumentasi. Itu yang perlu dilakukan,” tutur dia.
Sebagai informasi, sebanyak 36 anak-anak PMI yang tengah belajar di Sanggar Belajar di Malaysia, ditahan aparat keamanan di sana. Mereka ditahan karena status orang tuanya yang kebanyakan sudah tidak berdokumen resmi (undocumented) alias ilegal. Sanggar Belajar sendiri merupakan inisiatif masyarakat dengan dukungan KBRI untuk menyediakan fasilitas belajar bagi anak-anak PMI.
Dede menjelaskan pemerintah sebenarnya telah membuat kebijakan Community Learning Center (CLC). Tetapi, karena jumlah anak-anak siswa dari pekerja migran jumlahnya puluhan ribu, maka program CLC itu tidak pernah akan cukup.