REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia perpolitikan di Tanah Air kerap memberikan kejutan tersendiri. Salah satunya diberikan partai-partai baru yang dalam sejarah bisa berubah jadi partai besar, bahkan pemenang pemilu jika mengusung capres yang sangat populer.
Peneliti LSI Denny JA, Ardian Sopa mengatakan, kontestasi Pemilu 2024 memang akan diwarnai partai-partai baru. Dari 18 parpol peserta yang dinyatakan lolos KPU, ada tiga yang lahir sebelum reformasi yaitu PDIP, Partai Golkar dan PPP.
Kemudian, partai yang lahir setelah reformasi ada PKB, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PKS, Partai Hanura, Partai Demokrat, PBB, PSI, Perindo, Partai Buruh dan Partai Garuda. Bagi Partai Gelora, PKN dan Partai Ummat ini jadi pemilu pertama.
Namun, elektabilitas sebagian besar partai-partai baru ini memang belum aman, masih jauh di bawah parliamentary threshold. Bahkan, masih banyak yang nol koma seperti PSI, Partai Garuda, Partai Ummat, Partai Buruh, Partai Gelora dan PKN.
Kesimpulannya, partai besar (PDIP, Golkar Gerindra) bertarung memenangkan pileg, partai menengah (PKB, Demokrat, PKS, Nasdem) berusaha menaikkan elektabilitas karena sudah aman. Lalu, partai kecil berusaha melewati parliamentary threshold.
"Namun, ada sejarah sukses dari partai-partai baru. Contohnya, Partai Demokrat yang 2004 masuk parlemen dengan dukungan 7,45 persen, pada pemilu kedua 2009 Partai Demokrat jadi partai terbesar dengan dukungan 20,4 persen," kata Ardian, Selasa (7/2/2023).
Ardian berpendapat, partai-partai baru ini masih bisa menjulang tinggi jika mendukung capres-capres paling populer. Kasus Partai Demokrat, mereka hanya membutuhkan dua periode pemilu untuk ke luar sebagai pemenang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sejarah serupa dicatatkan Partai Gerindra yang sebenarnya baru lahir setelah reformasi. Hari ini, Partai Gerindra bisa masuk kategori partai besar dengan elektabilitas di atas 10 persen, bahkan menjadi partai besar pada pemilu sebelumnya.
"Jika punya capres yang juga populer, kasus Partai Gerindra dengan Pak Prabowo," ujar Ardian.
Ardian berpendapat, memiliki capres yang paling populer atau nomor dua populer merupakan jalan tol membuat partai itu menjadi besar. Jadi, partai-partai baru ini tetap memiliki peluang menjadi partai besar jika memiliki strategi tepat.
Salah satunya ikut menjadi pendukung capres-capres yang sangat populer atau nomor dua paling populer. Kasus Partai Demokrat dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto bisa menjadi pelajaran positif.
"Kita tidak tahu apakah akan terjadi di partai-partai lain, kita tunggu waktu," kata Ardian.