Ahad 12 Feb 2023 20:44 WIB

Vonis Sambo, Pakar Hukum: Ada Dua Kelemahan yang Bisa Meringankan

Pakar hukum sebut dua kelemahan kurang didalami jaksa yang bisa ringankan Ferdy Sambo

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa Ferdy Sambo saat menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (17/1/2023). Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut  terdakwa Ferdy Sambo penjara seumur hidup karena dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan berencana  terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dan merusak barang bukti elektronik terkait pembunuhan Yosua.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Ferdy Sambo saat menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (17/1/2023). Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut terdakwa Ferdy Sambo penjara seumur hidup karena dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dan merusak barang bukti elektronik terkait pembunuhan Yosua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menggelar sidang vonis dan pembacaan putusan hukum terhadap terdakwa Ferdy Sambo, pada Senin (13/2) besok. FS merupakan pelaku pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Mayoritas publik yang telah mengikuti kasus ini cukup lama menginginkan hukuman terberat dapat dijatuhkan kepada FS. Apalagi, bukti-bukti pengadilan yang ada sudah membuat kasus yang sempat berusaha ditutupi pelaku itu menjadi terang.

Baca Juga

Pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Mudzakkir mengatakan, sebenarnya pembuktian karena dikuatkan opini publik tidak dikenal dalam hukum pidana. Yang ada, putusan tetap didasarkan pembuktian dalam sidang pengadilan.

Mudzakkir mengingatkan, ada dukungan opini publik atau tidak adanya dukungan opini publik sesungguhnya tidak menentukan putusan hakim. Ia menekankan, yang paling menentukan nantinya tetap saja pertimbangan hakim berdasarkan keyakinan.

Ia menerangkan, hakim akan menyimpulkan dari apa yang disampaikan jaksa penuntut umum, serta apa yang disampaikan terdakwa dan penasehat hukum. Semuanya digabung menjadi satu dan dia akan menjadi konstruksi berpikir hakim untuk memutuskan.

Kemudian, hakim akan menarik yang disebut sebagai konstruksi untuk menarik atau keyakinan. Jadi, bukti satu ditarik bukti lain bisa menambah keyakinan atau tidak dan kalau bisa keyakinan yang maksimum (super yakin) atau keyakinan biasa.

"Kalau super yakin, keyakinan hakim pada level dia menemukan kebenaran materiil atau yang hakiki. Jadi, kalau sudah yakin dan untuk menemukan kebenaran hakiki hakim akan selangkah lagi, memutus berdasarkan keadilan, berdasarkan Tuhan YME," kata Mudzakkir kepada Republika, Ahad (12/2).

Mudzakkir merasa, secara keseluruhan usaha maksimum untuk pembuktian sudah on the track. Namun, ia menyayangkan, teknik pendalaman yang masih belum optimal. Pertama, diduga ada peluru lain selain dari senjata yang dipakai Richard Eliezer.

Apalagi, ahli persenjataan sudah menyatakan kalau peluru-peluru lain itu tidak sama dengan yang berasal dari senjata Eliezer. Artinya, ada senjata lain yang dipakai dan tampaknya jaksa tidak bisa mendalami langsung perihal tersebut.

"Peluru dari mana, senjata yang mana, senjata siapa, miliki siapa dan dari mana ini kesannya belum masuk, sehingga orang bisa beralibi macam-macam. Diawali saja itu peluru dari senjata apa, milik siapa, dari sana bisa diambil kesimpulan," ujar Mudzakkir.

Kedua, teknik pembuktian korban mati karena peluru yang mana. Seharusnya, ia merasa, bisa diminta penegasan ke forensik korban mati karena peluru yang mana. Ia menilai, itu harus jelas agar hakim tidak memiliki ruang untuk interpretasi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement