REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Meta mengumumkan siap memberlakukan layanan berlangganan berbayar. Namun, kebijakan baru itu menuai kritik luas.
Para kritikus mengungkapkan kekhawatiran mendalam tentang cara Meta memilih untuk menyusun penawaran barunya. Ini akan menelan biaya 11,99 dolar AS atau Rp 182 ribu atau 14,99 dolar AS atau Rp 227 ribu untuk seluler.
Nantinya, pelanggan akan mendapatkan lencana verifikasi, perlindungan ekstra terhadap peniruan identitas, akses langsung ke dukungan pelanggan dan lebih banyak visibilitas. Pakar keamanan daring Kavya Pearlman tidak terkesan dengan gagasan membayar perlindungan.
Menurut dia, ini malah menciptakan sistem kasta digital antara mereka yang kaya dan miskin. “Fitur keselamatan dan keamanan TIDAK boleh dijual,” kata Pearlman.
Dikutip Japan Today, Kamis (23/2/2023), The Real Facebook Oversight Board, sebuah kelompok yang sangat kritis terhadap Meta, juga ikut mengkritik kebijakan baru ini. “Sekarang Facebook ingin Anda mendanai model berbahaya yang menggerakkan seluruh bisnisnya,” ujarnya.
Sementara itu, menurut profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat (AS), Sinan Aral, mengungkapkan kekhawatiran lain yang lebih luas. Dia melakukan eksperimen dua tahun yang menganalisis efek pelabelan akun terhadap perilaku online.
Hasil penelitiannya menunjukkan isyarat identitas seperti Twitter Blue atau Meta Verified dapat menyebabkan lebih banyak reaksi dari hasil kebiasaan, bukan pertimbangan cermat. “Ada perbedaan antara kelompok dalam dan kelompok keluar dan fokus yang lebih intensif pada kepribadian daripada konten,” ucap dia.
Sebelum diluncurkan global, layanan baru Meta akan dirilis di Australia dan Selandia Baru. Kabar itu disambut dengan banyak reaksi negatif dan meme yang mengejek bos Meta Mark Zuckerberg karena mengikuti jejak bos Twitter Elon Musk.