Kamis 23 Mar 2023 17:32 WIB

Bocorkan Misteri Rp 349 Triliun, Pengamat: Mahfud dan PPATK tidak Langgar Aturan

Penjelasan di depan DPR malah berpotensi melanggar aturan karena buka kerahasiaan.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Lida Puspaningtyas
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana (tengah) mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/3/2023). Rapat tersebut membahas terkait isu soal adanya transaksi mencurigakan di Kementerian/ Lembaga.
Foto: Republika/Prayogi.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana (tengah) mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/3/2023). Rapat tersebut membahas terkait isu soal adanya transaksi mencurigakan di Kementerian/ Lembaga.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman menanggapi pernyataan Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan tentang ancaman pidana penjara paling lama empat tahun bagi pembocor transaksi keuangan yang mencurigakan. Hal ini ditujukan kepada PPATK dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, yang menyebut adanya transaksi janggal Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan.

"Yang disampaikan oleh PPATK ataupun Menko Polhukam itu tidak sampai membuka sesuatu yang bersifat rahasia misalnya soal nama atau per detail transaksi dan juga misalnya informasi yang bersifat individu atau bersifat pribadi," ujar Zaenur dalam keterangannya, Kamis (23/3/2023).

Baca Juga

Zaenur menilai, yang disampaikan PPATK maupun Menko Polhukam hanya berupa jumlah rekapitulasi keuangan mencurigakan yang terkait maupun terjadi di Kementerian Keuangan. Keduanya, menurut Pukat, tidak membuka secara detil kasus per kasus maupun nama pejabat dan pegawai kementerian keuangan.

"Itu dua-duanya bukan dibuka secara detail atau PPATK maupun Menko Polhukam jadi bersifat secara umum, hanya menyebut total nilai transaksi mencurigakan yang bahkan hanya transaksi itu pun mungkin terekam berkali-kali, jadi menurut saya tidak membuka rahasia," ujarnya.

Sebaliknya, Zaenur justru mempertanyakan langkah DPR yang meminta PPATK dan Menko Polhukam menjelaskan secara detil di depan DPR terkait transaksi janggal tersebut. Hal ini kontradiksi dengan aturan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana pencucian uang (TPPU) diatur kewajiban merahasiakan dokumen terkait TPPU.

"Justru saya khawatir permintaan DPR untuk PPATK dan Menko Polhukam menjelaskan di hadapan DPR dengan alasan di dalam undang-undang TPPU itu ada satu ketentuan bahwa laporan terhadap kinerja dari PPATK itu disampaikan kepada DPR Saya melihat itu adalah satu pemahaman yang tidak tepat juga," ujarnya.

Zaenur melanjutkan, sebagaimana diatur dalam UU TPPU Pasal 47, yang bisa disampaikan PPATK ke DPR adalah bentuk akuntabilitas laporan yang bersifat berkala bukan bersifat kasus per kasus. Tertuang dalam pasal PPATK membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya secara berkala setiap enam bulan kepada Presiden dan DPR.

"Saya lihat arahnya DPR menginginkan agar PPATK membuka transaksi keuangan mencurigakan di depan forum DPR. Nah itu justru tidak tepat dan itu justru melanggar kerahasiaan," katanya menambahkan.

Sehingga, laporannya adalah pelaksanaan tugas fungsi dan wewenang bukan laporan hasil analisis (LHA) yang dibuat secara detail untuk satu transaksi tertentu.

"Justru DPR saya khawatir kalau misal permintaan DPR itu dikabulkan oleh PPATK kalau membuka di hadapan DPR transaksi keuangan yang mencurigakan justru itu bentuk pelanggaran kerahasaiaan sebagai UU 8 tahun 2010," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement