REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD menyebut ada dugaan tindak pidana pencucian uang senilai Rp 189 triliun di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ia mengatakan, dugaan TPPU tersebut berkaitan dengan impor emas.
"Apa itu emas? ya. Impor emas batangan yang mahal-mahal itu, tapi di dalam surat cukainya itu dibilang emas mentah," ujar Mahfud dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023).
Ia menambahkan, pihak bea cukai berdalih bahwa impor yang dilakukan adalah emas murni, bukan batangan. Dimana kemudian, emas batangan tersebut dicetak oleh sebuah perusahaan di Surabaya, Jawa Timur.
"Dicari ke Surabaya, ndak ada pabriknya dan itu nyangkut uang miliaran Saudara, ndak diperiksa," ujar Mahfud.
Dugaan tindak pidana pencucian uang tersebut baru diketahui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pada 14 Maret 2023. Hal tersebut diketahui setelah menerima laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Padahal, PPATK sudah menyerahkan laporan hasil analisis (LHA) kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sejak 2017. Mirisnya, Sri Mulyani baru mengetahui hal tersebut setelah pertemuannya dengan PPATK pada 14 Maret lalu.
"Laporan itu diberikan tahun 2017 oleh PPATK, bukan tahun 2020. Tahun 2017 diberikan tidak pakai surat, tapi diserahkan oleh Ketua PPATK langsung kepada Kementerian Keuangan yang diwakili Dirjen Bea Cukai, Irjen Kementerian Keuangan dan dua orang lainnya," ujar Mahfud.
"Nih serahkan, kenapa tidak pakai surat? Karena ini sensitif masalah besar. Dua tahun tidak muncul tahun 2020 dikirim lagi, tidak sampe ke Bu Sri Mulyani, sehingga bertanya ketika kami kasih itu dan yang dijelaskan yang salah," sambung Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) itu.