Senin 03 Apr 2023 14:49 WIB

Rektor Universitas Paramadina Sindir Jokowi Restui Pelemahan KPK

Menurut Didik, pelemahan KPK bisa terjadi karena adanya restu Presiden Jokowi.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erik Purnama Putra
Rektor Universitas Paramadina periode 2021-2025, Prof Didik J Rachbini.
Foto: Dok Paramadina
Rektor Universitas Paramadina periode 2021-2025, Prof Didik J Rachbini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini menyindir pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terjadi pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia menegaskan, pelemahan KPK bisa terjadi karena adanya restu Presiden Jokowi.

Didik mengkritisi revisi Undang-Undang (UU) KPK yang justru menjatuhkan kinerja KPK. Bahkan, belakangan ini kinerja KPK makin dipertanyakan dengan sederet kontroversialnya. Sebelumnya, beberapa penyidik dituding sebagai pendukung Taliban karena menolak mengikuti tes wawasan kebangsaan.

"Jangan harap KPK sekarang persis seperti dulu. Jadi ini terkait sekali persetujuan Presiden. Presiden Jokowi itu tercatat setujui mengubah UU KPK yang melemahkan hukum untuk pengendalian dan pencegahan korupsi," kata Didik dalam seminar '25 Tahun Reformasi: Mengembalikan Marwah KPK sebagai Institusi Penegak Hukum yang Independen, Profesional, dan Berintegritas' di Jakarta pada Senin (3/4/2023).

Didik mengungkapkan upaya pelemahan KPK bukan baru terjadi baru-baru ini saja. Tindakan tersebut sudah coba dilakukan sejak satu dasawarsa lalu. Namun, pada saat itu, Didik menilai, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) punya sikap tegas menolaknya.

"Sejak 2009 akan dilemahkan dan itu berlangsung terus menerus dan sangat kuat, tapi ketika Presiden nggak setuju maka tidak jadi. Dan begitu Presiden setuju perubahan UU KPK maka jadilah KPK lemah seperti sekarang," ujar ekonom Indef tersebut.

Didik menyebutkan, para politisi yang duduk di Parlemen juga ikut mendalangi pelemahan KPK. "KPK sejak dulu memang ingin dibunuh itu oleh parlemen kan yang buat UU ya DPR," ujarnya.

Sayangnya, akrobat para pemain politik tersebut akhirnya didukung pemerintah guna menjatuhkan kredibilitas KPK.  "Demo di seluruh negeri nggak berhasil, begitu hebatnya pemerintah saat itu untuk melemahkan KPK," ujar Didik.

Oleh karena itu, Didik tak bisa berharap banyak dengan KPK periode sekarang. Pasalnya, kinerjanya dianggap semakin jauh dari ekspektasi publik soal penindakan kasus korupsi.  "KPK sekarang beda dengan yang dulu," sebut Didik.

Selain itu, ia khawatir, kehadiran KPK justru kian disalahgunakan. Didik menduga KPK berpeluang digunakan sebagai alat politik bagi penguasa. "Setelah KPK dilemahkan jadi alat politik untuk bunuh lawan politik sehingga mengarah demokrasi hutan rimba," ujarnya.

Sebelumnya, tiga pimpinan KPK mengumumkan kekecewaannya terhadap terus bergulirnya revisi UU tentang KPK, Jumat (13/9/2019) malam. Mereka adalah Ketua KPK Agus Rahardjo dan dua wakil ketua KPK Laode M Syarif serta Saut Situmorang.

Menurut Agus, kecemasannya tersebut pun sudah disampaikan ke Presiden Jokowi. Namun, apa daya, Presiden telah secara resmi mengirimkan surat kepada DPR yang menyebutkan bahwa Presiden sepakat untuk membahas ketentuan revisi UU KPK bersama DPR.

Ketua KPK periode 2011-2015, Abraham Samad, juga menepis anggapan yang mengatakan bahwa UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih menguatkan institusi KPK. Menurut dia, UU KPK yang berlaku saat ini justru melemahkan KPK.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement