REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rencana pembentukan poros besar bernama Koalisi Indonesia Raya Bersatu memiliki maksud tersendiri. Pengamat politik Adi Prayitno memprediksi rencana poros besar ini adalah memenangkan pemilihan presiden hanya satu putaran.
"Poros besar ini bisa menyatukan konsolidasi dan menyatukan kepentingan mejadi koalisi besar, memastikan kemenangan mereka itu satu putaran lah," ujar Adi dalam keterangannya pada Selasa (4/4/2023).
Pertemuan antara lima ketua umum partai politik, yakni Golkar, Gerindra, PPP, PAN, PKB saat itu menurut Adi menjadi tanda-tanda adanya penjajakan politik dalam membentuk poros besar antara KIB dengan Gerindra dan PKB.
Rencana tersebut sangat mungkin terwujud. Sebab, kelimanya adalah partai politik pendukung pemerintahan Jokowi.
"Prospeknya tentu cukup memungkinkan karena kelima partai ini adalah partai-partai pendukungnya jokowi," katanya.
Dari sisi wacana, visi, dan gagasan, menurut Adi tidak ada kendala di antara kelima partai politik tersebut. Namun, lain cerita ketika bicara siapa yang akan diusung sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Adi bertanya-tanya, siapa calon presiden dan wakil presiden yang akan mereka dukung, apakah Prabowo-Cak Imin, Prabowo-Ganjar, Prabowo-Airlangga, dan seterusnya.
"Karena kalau kita lihat, koalisi besar ini kan punya problem tersendiri, yaitu ketika ketum-ketum partai yang ada di dalamnya sampai saat ini masih ngotot untuk maju pilpres. Itu yang saya kira menjadi kesulitan pada level praktik," kata Adi.
PDIP sebaiknya tak usah ikut koalisi besar
Sementara itu, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga menilai peluang bergabungnya KIB dan KIR menjadi Koalisi Indonesia Raya Bersatu sangat terbuka lebar pascasilaturahmi antarketua umum partai politik pendukung pemerintah di DPP PAN, Ahad (2/4/2023).
Jika hal itu terwujud, Jamaluddin menyarankan sebaiknya koalisi besar tersebut tidak melibatkan PDI Perjuangan agar Pemilu 2024 tetap memiliki tiga pasang capres dan cawapres.
“Koalisi besar tersebut diharapkan tidak melibatkan PDIP. Kalau ini terwujud, maka pada Pilpres 2024 diharapkan tetap ada tiga pasangan capres yang maju,” ujar Jamiluddin.
Menurut dia, nantinya PDI Perjuangan mau tidak mau harus mengusung capres dan cawapres sendiri.
Hal ini demi mencegah keterbelahan di Pemilu 2024. “Dengan begitu, akan ada pasangan capres dari koalisi besar, PDIP, dan Koalisi Perubahan. Pilihan ini diharapkan dapat meminimalkan keterbelahan di tengah masyarakat,” kata dia.
Soal isu koalisi besar tersebut, Jamiluddin mengungkapkan ada untung maupun rugi pada Pemilu 2024.
Peluang terjadinya hanya dua pasang capres-cawapres semakin besar juga. “Plusnya, pasangan capres yang diusung berpeluang hanya dua. Kalau hal ini terwujud, maka Pilpres 2024 cukup satu putaran. Pilpres satu putaran dapat menghemat anggaran. Hal ini pas di tengah APBN yang relatif berat,” kata dia.
Sementara, ruginya jika Koalisi Besar ini terbentuk, akan terjadi dua pasangan. Rakyat tidak banyak diberi alternatif pilihan. Padahal idealnya demokrasi diharapkan memberi lebih banyak pilihan.
Apalagi masyarakat Indonesia yang begitu heterogen. Selain itu, lanjutnya, keterbelahan akan semakin menguat di tengah masyarakat.
Padahal keterbelahan akibat Pilpres 2019 masih menguat. “Minus lainnya, bila koalisi besar menang pada Pilpres 2024, maka dominasi partai pendukung pemerintah sangat kuat. Hal ini dapat memperlemah DPR dalam pengawasan, seperti yang terjadi saat ini. DPR praktis sangat lemah dihadapan pemerintah,” katanya.
Sebaliknya, bila Koalisi Perubahan yang menang, DPR berpeluang sangat kuat. Sebab, Koalisi besar akan mendominasi DPR, yang akan terus mengganggu pemerintah.
“Pemerintah akan terus jadi bulan-bulanan, sehingga sulit bekerja maksimal karena minimnya dukungan dari DPR,” tutur dia.