Sabtu 22 Apr 2023 06:10 WIB

Mengapa Konflik Sudan Penting Bagi Seluruh Dunia?

Konflik dimulai ketika Sudan berusaha melakukan transisi ke pemerintahan demokrasi.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Orang-orang berjalan melewati toko-toko yang tutup di Khartoum, Sudan, Selasa, 18 April 2023. Ibu kota Sudan yang diperangi telah terbangun pada hari keempat pertempuran sengit antara tentara dan kekuatan saingan yang kuat untuk menguasai negara. Serangan udara dan penembakan diintensifkan pada hari Senin di beberapa bagian Khartoum dan kota tetangga Omdurman.
Foto: AP Photo/Marwan Ali
Orang-orang berjalan melewati toko-toko yang tutup di Khartoum, Sudan, Selasa, 18 April 2023. Ibu kota Sudan yang diperangi telah terbangun pada hari keempat pertempuran sengit antara tentara dan kekuatan saingan yang kuat untuk menguasai negara. Serangan udara dan penembakan diintensifkan pada hari Senin di beberapa bagian Khartoum dan kota tetangga Omdurman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertempuran di Sudan antara pasukan junta militer menempatkan negara itu dalam risiko kehancuran. Kedua belah pihak memiliki puluhan ribu pejuang, pendukung asing, kekayaan mineral, dan sumber daya lain yang dapat melindungi mereka dari sanksi.

Ini adalah formula untuk konflik berkepanjangan yang telah menghancurkan negara-negara lain di Timur Tengah dan Afrika, dari Lebanon dan Suriah hingga Libya dan Ethiopia. Pertempuran dimulai ketika Sudan berusaha untuk melakukan transisi ke pemerintahan demokrasi.

Baca Juga

Pertempuran ini telah menewaskan ratusan orang dan membuat jutaan orang terperangkap di daerah perkotaan. Mereka berlindung dari tembakan, ledakan, dan penjarah.

Siapa yang Berkonflik di Sudan?

Pemimpin angkatan bersenjata, Jenderal Abdel Fattah Burhan, dan pemimpin kelompok paramiliter yang dikenal sebagai Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang tumbuh dari milisi Janjaweed yang terkenal kejam di Darfur, Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo. Masing-masing berusaha merebut kendali Sudan.

Pertempuran terjadi dua tahun setelah mereka bersama-sama melakukan kudeta militer dan menggagalkan transisi menuju demokrasi. Kudeta telah dimulai setelah pengunjuk rasa pada 2019 membantu memaksa penggulingan otokrat lama Omar al-Bashir. Dalam beberapa bulan terakhir, negosiasi sedang dilakukan untuk kembali ke transisi demokrasi.

Pemenang dari pertempuran terakhir kemungkinan adalah presiden Sudan berikutnya. Sementara pihak yang kalah menghadapi pengasingan, penangkapan atau kematian.

Seorang pakar Sudan di Universitas Tufts, Alex De Waal, menulis dalam sebuah memo kepada rekan-rekannya minggu ini bahwa konflik tersebut harus dilihat sebagai putaran pertama perang saudara.

“Kecuali diakhiri dengan cepat, konflik akan menjadi permainan multi-level dengan aktor regional dan internasional mengejar kepentingan mereka, menggunakan uang, pasokan senjata, dan mungkin pasukan atau proksi mereka sendiri,” tulis De Waal.

Apa arti perang bagi negara tetangga Sudan?

Sudan adalah negara terbesar ketiga di Afrika berdasarkan wilayah dan melintasi Sungai Nil. Sudan berbagi perairannya dengan Mesir dan Ethiopia. 

Mesir bergantung pada Sungai Nil untuk menghidupi lebih dari 100 juta penduduknya, sedangkan Ethiopia sedang mengerjakan bendungan besar di hulu yang mengkhawatirkan Kairo dan Khartoum.

Mesir memiliki hubungan dekat dengan militer Sudan. Kairo telah menjangkau kedua belah pihak di Sudan untuk mendesak gencatan senjata tetapi tidak mungkin bertahan jika militer menghadapi kekalahan.

Sudan berbatasan dengan lima negara yaitu Libya, Chad, Republik Afrika Tengah, Eritrea, dan Sudan Selatan, yang memisahkan diri pada 2011 dan mengambil 75 persen sumber daya minyak Khartoum. Hampir semuanya negara tetangga Sudan terperosok dalam konflik internal mereka sendiri, termasuk konflik dengan berbagai kelompok pemberontak di sepanjang perbatasan.

“Apa yang terjadi di Sudan tidak akan tinggal di Sudan. Chad dan Sudan Selatan terlihat paling berisiko terhadap potensi limpahan. Tapi semakin lama (pertempuran) berlarut-larut, semakin besar kemungkinan kita melihat intervensi eksternal yang besar," ujar kata Alan Boswell dari International Crisis Group.  

 

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement