REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Faksi-faksi yang bertikai di Sudan menyetujui gencatan senjata selama 72 jam mulai Selasa (25/4/2023). Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) mengatakan, Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi memediasi gencatan senjata itu.
Menteri Luar Negeri AS, Anthony Blinken mengatakan, kesepakatan gencatan senjata dicapai setelah negosiasi intensif selama dua hari. Kedua belah pihak tidak mematuhi beberapa kesepakatan gencatan senjata sebelumnya. Pertempuran antara kelompok paramiliter SAF dan Rapid Support Forces (RSF) meletus pada 15 April dan telah menewaskan sedikitnya 427 orang.
Konflik juga telah melumpuhkan rumah sakit dan layanan lainnya, serta mengubah daerah pemukiman menjadi zona perang. "Selama periode ini, Amerika Serikat mendesak SAF dan RSF untuk segera dan sepenuhnya menegakkan gencatan senjata," kata Blinken dalam sebuah pernyataan.
Blinkem mengatakan, AS akan berkoordinasi dengan kepentingan sipil regional, internasional dan Sudan untuk membentuk sebuah komite yang akan mengawasi gencatan senjata permanen dan pengaturan kemanusiaan. RSF mengkonfirmasi bahwa pihaknya telah menyetujui gencatan senjata, mulai tengah malam, untuk memfasilitasi upaya kemanusiaan.
"Kami menegaskan komitmen kami untuk gencatan senjata penuh selama periode gencatan senjata," kata RSF.
Sementara SAF mengatakan, pihaknya juga menyetujui kesepakatan gencatan senjata. Koalisi kelompok masyarakat sipil Sudan yang telah menjadi bagian dari negosiasi transisi menuju demokrasi menyambut baik gencatan senjata tersebut.
Menjelang pengumuman gencatan senjata, serangan udara dan pertempuran darat mengguncang Kota Omdurman. Selain itu, terjadi bentrokan di Ibu Kota Khartoum. Asap gelap menyelimuti langit di dekat bandara internasional di pusat Khartoum, yang bersebelahan dengan markas tentara, dan ledakan tembakan artileri menggetarkan sekitarnya.
Puluhan ribu orang termasuk warga Sudan dan warga dari negara tetangga telah melarikan diri dalam beberapa hari terakhir ke Mesir, Chad dan Sudan Selatan. Sementara sejumlah negara telah mengevakuasi warga mereka ke tempat yang aman. Satu konvoi 65 kendaraan membawa puluhan anak, bersama dengan ratusan diplomat dan pekerja bantuan, dalam perjalanan sejauh 800 kilometer yang ditempuh selama 35 jam dari Khartoum ke Port Sudan di Laut Merah.
Beberapa negara, termasuk Kanada, Prancis, Polandia, Swiss, dan Amerika Serikat, telah menghentikan operasi kedutaan hingga pemberitahuan lebih lanjut. Pertempuran cukup mereda selama akhir pekan. Amerika Serikat dan Inggris memanfaatkan jeda pertempuran untuk mengeluarkan staf kedutaan. Langkah ini memicu serbuan evakuasi ratusan warga negara asing oleh negara-negara lainnya mulai dari negara-negara Teluk Arab hingga Rusia, Jepang, dan Korea Selatan.
Jepang mengatakan semua warganya yang ingin meninggalkan Sudan telah dievakuasi. Paris mengatakan telah mengatur evakuasi 491 orang, termasuk 196 warga negara Prancis dan lainnya dari 36 warga negara lain. Sebuah kapal perang Prancis sedang menuju Port Sudan untuk menjemput lebih banyak pengungsi.
Empat pesawat angkatan udara Jerman mengevakuasi lebih dari 400 orang dari berbagai negara dari Sudan pada Senin (24/4/2023). Sementara Kementerian Luar Negeri Saudi mengatakan, mereka mengevakuasi 356 orang, termasuk 101 orang Saudi dan orang dari 26 warga negara lainnya.
Beberapa negara mengirim pesawat militer dari Djibouti. Keluarga dengan anak-anak berkerumun di pesawat angkut militer Spanyol dan Prancis, sementara sekelompok biarawati termasuk di antara para pengungsi di pesawat Italia.
“Evakuasi cepat orang Barat berarti negara itu di ambang kehancuran. Tapi kami mengharapkan peran yang lebih besar dari mereka dalam mendukung stabilitas dengan menekan kedua belah pihak untuk menghentikan perang,” kata Suleiman Awad, seorang akademisi berusia 43 tahun di Omdurman.