REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Aksi pria asal Lampung, Mustopa (60 tahun) yang melakukan teror dengan penembakan di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih menyimpan segudang misteri. Hingga kini polisi pun belum memaparkan motif pelaku melakukan penyerangan yang menyasar para pimpinan MUI, serta kematian pelaku yang seketika terjadi setelah melakukan aksinya. Terlepas dari itu, mengapa akhir-akhir ini ulama juga kerap menjadi sasaran pelaku teror? Mantan narapidana terorisme yang kini menjadi pengasuh Ponpes Al Hidayah Deli Serdang, Khairul Ghazali memberikan penjelasan kepada Republika.co.id mengenai hal tersebut.
Apakah pelaku penembakan di kantor MUI terafiliasi dengan jaringan teroris?
Penembakan terhadap kantor MUI pusat 2 April 2023 lalu, menambah daftar panjang terhadap penyerangan para ulama di tanah air. Pelaku penyerangan tersebut, Mustopa NR, diduga oleh polisi tidak terhubung dengan jaringan teroris manapun baik lokal maupun global, dan tidak mempunyai riwayat sebagai penganut ideologi radikal yang berafiliasi dengan “salafi jihadis”. Dengan demikian, tak usah repot-repot mengusut pelaku tersebut dengan link-link teroris. Tetapi pasti, pelaku bertindak nekat karena pengaruh radikalisme, yaitu semangat berapi-api untuk melampiaskan dan memaksakan kehendaknya sesuai keyakinan yang dianutnya terhadap fanatisme sempit kebenaran sepihak.
Jelas bahwa radikalisme yang tidak mengacu kepada konsep ideologi salafi jihadis tidak bisa dihubungan dengan jaringan teroris. Artinya, pelaku penyerangan kantor MUI tersebut tidak terkooptasi dengan ideologi radikal yang mengatasnamakan “jihad”. Tetapi perlu diketahui, ini adalah hipotesis pihak aparat keamanan, yang “diuntungkan” dengan tewasnya pelaku secara misterius.
Pihak aparat keamanan kukuh mengatakan bahwa keradikalan yang bersangkutan tidak terkait dengan link-link jihadis baik Jamaah Islamiah (JI) maupun Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan jaringan global ISIS.
Mengapa akhir-akhir ini para ulama sering menjadi sasaran teror dan kekerasan?
Pelaku teror yang berideologikan Islam jihadis tidak menjadikan ulama sebagai target mereka karena kelompok elite Islam ini tidak masuk dalam skala prioritas aksi-aksi amaliyat. Katakanlah kasus penyerangan-penyerangan yang terjadi terhadap beberapa ulama di beberapa daerah di Jawa Barat dan Jawa Timur, dan yang teranyar terhadap kantor MUI Pusat.
Target utama teroris adalah aparat keamanan sebagai representasi pemerintah. Mereka dianggap sebagai musuh utama yang menghalangi paham mereka. Dengan menyerang aparat diharapkan akan menimbulkan sentimen negatif di masyarakat dan mengganggap polisi adalah musuh yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri.
Namun aparat keamanan itu hanya sasaran antara untuk membangun sentimen yang negatif. Sasaran berikutnya, warga asing yang dianggap mengexport budaya mereka seperti bom bunuh diri di Bali, bom kedutaan asing dan simbol-simbol asing, bom gereja, bom masjid di Cirebon dan lain sebagainya.
Walaupun serangan di kantor MUI dianggap tidak tersambung dengan link-link teroris, namun kejadian itu bisa menjadi multivitamin bagi kelompok teroris. Sebab, dengan doktrin 'menjual murah surga', yang merupakan paradigma berpikir para pelaku teror, mereka bisa melakukannya secara lone wolf menyasar pihak-pihak yang dianggap berseberangan dan menentang pemahaman radikal mereka seperti ulama-ulama yang moderat yang selama ini menolak keras ajaran radikalisme dalam Islam.
Hal semacam ini pun terjadi di Suriah. Mereka selain menyasar aparat keamanan, juga menargetkan tokoh-tokoh ulama. Mereka menghancurkan masjid dan bahkan membunuh ulama-ulama yang anti khalifah. Bukan tidak mungkin itu terjadi di Indonesia.