Sabtu 13 May 2023 16:02 WIB

M Natsir Kritik Pidato Politik Presiden Sukarno Yang Pertentangkan Pancasila dengan Islam

Meski UUD 1950 melarang kepala negara pidato politik, Sukarnu tak menggubrisnya

Presiden Sukarno pidato di Amuntai tahun 1953.
Foto: istimewa
Presiden Sukarno pidato di Amuntai tahun 1953.

Oleh: Lukman Hakiem, Mantan Staf M Natsir, Wapres Hamzah Has, dan anggota DPR RI dari Fraksi PPP.

Pada 17 Januari 1953, Presiden Sukarno berkunjung ke Kalimantan Selatan. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Sukarno untuk bertemu dan berpidato di depan rskyat di Amuntai.

Padaal sebagai Kepala Negara, sesungguhnya menurut UUD 1950, Presiden Sukarno tidak boleh berbicara soal politik. Akan tetapi Sukarno tak peduli atau hirau. Dia beralasan, dirinya bukan sekadar presiden konstitusional. Sukarno menganggap dirinya Bapak Bangsa Indonesia.

Maka, jika dia berpidato di depan rakyat, tujuannya itu untuk memenuhi kewajibannya sebagai bapak bangsa yang memberi bimbingan kepada bangsa Indonesia. Kelak, Presiden Sukarno diberi gelar Pemimpin Besar Revolusi. Sukarno sendiri merasa dirinya sebagai "Penyambung Lidah Rakyat Indonesia".

Di Amuntai, Sukarno berpidato mengenai  Negara Nasional dan Cita-cita Islam. 

Pidato Amuntai itu segera saja tersebar luas dab tentu saja mengundang polemik, baik dari substansi, maupun dari sisi prosedur ketatanegaraan. Dalam pidato di Amuntai itu, Presiden Sukarno mengajak rakyat untuk menegakkan Pancasila dan menolak Islam sebagai dasar negara.

Reaksi keras diberikan oleh Ketua Masyumi Jawa Barat, K.H.M. Isa Anshari, dan anggota Majelis Syuro Partai Masyumi, H.M. Saleh Suaidi.

Kedua tokoh tersebut, menganggap pidato Amuntai, baik dari sisi substansi maupun  dari sisi prosedur ketatanegaraan sebagai masalah yang serius.

Tanggapan yang lebih tenang disampaikan oleh Ketua Umum Masyumi, Mohammad Natsir. Lawan polemik Sukarno pada 1930-an ini menganggap pidato Amuntai sebagai cermin ketidaktahuan banyak orang tentang ideologi Islam.  Menurut Natsir, penamaan "Negara Nasional dan Negara Islam hanya menambah kekusutan  pikiran. Ia mengingatkan perlunya toleransi agama dan perlindungan terhadap agama.

Nastir menyatakan bagi Masyumi, adalah kewajiban tiap Muslim untuk menghilangkan kesalahpahamNan terhadap Islam.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement