Sabtu 20 May 2023 20:41 WIB

Setelah Iran, Giliran Cina yang Diminta G7 Tekan Rusia untuk Akhiri Perang di Ukraina

G7 juga meminta Cina menghormati kedaulatan Taiwan dan menerapkan perdagangan adil.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Searah jarum jam dari kiri, Presiden AS Joe Biden, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, Presiden Dewan Eropa Charles Michel, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menghadiri pertemuan selama KTT Pemimpin G7 di Hiroshima, Jepang barat Jumat, 19 Mei 2023.
Foto: Japan Pool via AP
Searah jarum jam dari kiri, Presiden AS Joe Biden, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, Presiden Dewan Eropa Charles Michel, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menghadiri pertemuan selama KTT Pemimpin G7 di Hiroshima, Jepang barat Jumat, 19 Mei 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, HIROSHIMA -- Kelompok Negara G7, negara kaya bersatu pada Sabtu (20/5/2023), mendesak Cina agar menekan mitra strategisnya, Rusia, segera mengakhiri perang di Ukraina.

Dalam sebuah pernyataan bersama yang dikeluarkan pada Sabtu (20/5/2023), para pemimpin G7 menekankan bahwa mereka tidak ingin merugikan Cina dan mencari hubungan yang konstruktif dan stabil dengan Beijing.

Baca Juga

"Mengakui pentingnya untuk terlibat secara terbuka dengan dan mengekspresikan keprihatinan kami secara langsung kepada Cina," dalam pernyataannya.

"Kami menyerukan kepada Cina untuk menekan Rusia agar menghentikan agresi militernya, dan segera, sepenuhnya dan tanpa syarat menarik mundur pasukannya dari Ukraina," ujar pernyataan tersebut.

"Kami mendorong Cina untuk mendukung perdamaian yang komprehensif, adil dan langgeng berdasarkan integritas teritorial dan prinsip-prinsip serta tujuan Piagam PBB," termasuk dalam pembicaraan langsung dengan Ukraina.

Kerja sama dengan Cina diperlukan mengingat peran global dan ukuran ekonominya, kata kelompok G7 itu. Selain itu, hubungan dengan Cina penting dalam menghimbau untuk bekerja sama dalam menghadapi berbagai tantangan seperti perubahan iklim, keanekaragaman hayati, utang dan kebutuhan pembiayaan negara-negara yang rentan, masalah kesehatan global, dan stabilitas ekonomi.

Namun, para pemimpin menyatakan keprihatinan serius tentang situasi di Laut Cina Timur dan Selatan. Di mana Beijing telah memperluas kehadiran militernya dan mengancam akan menggunakan kekuatan untuk memaksakan kendalinya atas Taiwan yang memiliki pemerintahan sendiri.

Mereka menyerukan resolusi damai atas klaim Cina terhadap Taiwan, yang masih belum terselesaikan sejak komunis meraih kekuasaan di negara tirai bambu itu sejak tahun 1949.

Pernyataan tersebut mengatakan bahwa tidak ada dasar hukum untuk klaim maritim Cina yang luas di Laut Cina Selatan, dan negara G7 menentang kegiatan militerisasi Cina di wilayah tersebut.

"Cina yang berkembang dan bermain sesuai dengan aturan internasional akan menjadi kepentingan global," kata pernyataan itu, menyinggung tuduhan bahwa Beijing merongrong tatanan internasional berbasis aturan.

G7 juga bersatu dalam menyuarakan keprihatinan tentang hak asasi manusia di Cina, termasuk di Tibet, di Hong Kong, dan di wilayah Xinjiang. Di mana wilayah tersebut, masalah kerja paksa merupakan masalah yang tak kunjung usai.

Namun, pernyataan tersebut juga berusaha untuk melawan tuduhan bahwa G7 berusaha untuk mencegah kebangkitan Cina sebagai kekuatan global. "Pendekatan kebijakan kami tidak dirancang untuk merugikan Cina dan kami juga tidak berusaha menggagalkan kemajuan dan perkembangan ekonomi Cina," kata pernyataan itu.

Pernyataan ini menyoroti konsensus bahwa upaya-upaya untuk mendiversifikasi rantai suplai manufaktur dan memastikan akses yang stabil ke sumber daya mineral-mineral yang vital dan strategis. Dan sumber daya lainnya tidak ditujukan untuk mengurai hubungan dagang dengan negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini. "Kami tidak memisahkan diri atau berbalik ke dalam," kata pernyataan itu.

"Pada saat yang sama, kami menyadari bahwa ketahanan ekonomi membutuhkan pengurangan risiko dan diversifikasi. Kami akan mengambil langkah-langkah, secara individu dan kolektif, untuk berinvestasi pada semangat ekonomi kami sendiri. Kami akan mengurangi ketergantungan yang berlebihan pada rantai pasokan penting kami," dalam pernyataannya.

Pada saat yang sama, para anggota G7 bersumpah untuk mengambil sikap melawan berbagai jenis 'pemaksaan ekonomi', dengan mengatakan bahwa negara G7 akan melawan praktik-praktik jahat, seperti transfer teknologi yang tidak sah atau pengungkapan data, sementara juga menghindari membatasi perdagangan dan investasi secara berlebihan.

Para pejabat Cina telah bereaksi terhadap berbagai pernyataan G7 tentang pemaksaan ekonomi dan isu-isu lainnya dengan menuduh AS dan anggota lainnya munafik.

Kantor Berita Xinhua yang dikelola pemerintah menerbitkan editorial pedas pada Jumat, yang menggambarkan tuduhan-tuduhan tersebut sebagai 'perburuan penyihir, intimidasi, dan penindasan negara adidaya.'

"Ketika berbicara tentang pemaksaan,' pemaksa air pertama adalah Amerika Serikat," katanya.

"Sekutu-sekutu G7 Amerika pasti memiliki banyak dendam, mengingat bagaimana Washington telah mengeksploitasi, atau membuat mereka menderita, selama bertahun-tahun."

G7 meliputi Jepang, tuan rumah pertemuan tahunan pemimpin tahun ini, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Kanada, dan Italia, serta Uni Eropa.

Pernyataan ini dirilis pada hari kedua dari pertemuan tiga hari. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy tiba di Hiroshima pada hari Sabtu untuk berpartisipasi dalam pertemuan yang direncanakan pada Ahad.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement