Selasa 23 May 2023 17:34 WIB

Belajar Kepemimpinan dari Buya Hamka dan Kiai Sjaichu 

Buya Hamka dan Kiai Sjaichu merupakan ulama berpengaruh.

Bung Hatta, Pakiah Saleh Eks Dogoelis, dan Buya HAMKA Tahun 1970.
Foto: istimewa, fikrul hanif sufyan.
Bung Hatta, Pakiah Saleh Eks Dogoelis, dan Buya HAMKA Tahun 1970.

Oleh : Fathurrochman Karyadi; lulusan Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) wafat pada 24 Juli 1981, usianya 73 tahun. Saat itu, K.H. Achmad Sjaichu berusia 60 tahun. Semasa hidupnya, kedua tokoh ini sering melakukan interaksi meskipun berbeda organisasi masyarakat (ormas). Buya Hamka di Muhammadiyah, Kiai Sjaichu di Nahdlatul Ulama (NU).

Kedua tokoh ini menarik untuk dikaji pemikirannya dan diteladani sepak terjangnya sebagai pemimpin. Ada beberapa catatan sejarah yang bisa diketahui terkait dua sosok teladan ini. Pada 1 Muharram 1398 H atau 12 Desember 1977, Kiai Sjaichu mengundang sejumlah tokoh-tokoh Islam untuk beramah-tamah sekaligus mengadakan musyawarah di  rumahnya. 

Baca Juga

Dalam pertemuan itu, hadir 29 orang antara lain: M. Natsir, Prof. Dr. H. Kasman Singodimedjo, Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Prof. Dr. Hamka, Letjen H. Sudirman, Jenderal (purn) H. Yudodihardjo, Prof. K.H. Ali Yafie, Dr. H. Anwar Haryono, SH dan lain-lainnya. 

Ketika pembahasan sampai pada masalah ‘aliran kepercayaan’, tampak terjadi perdebatan yang bertele-tele, yang hanya berkisar masalah redaksional. Di saat itulah, Buya Hamka tidak sabar langsung angkat bicara dan menyetop semua pembicaraan.

"Soal redaksional atur belakangan, yang penting kita sepakati dahulu isinya", ujar Buya Hamka. Akhirnya semua setuju dan dalam waktu yang relatif singkat pembahasan selesai. Buya Hamka pun orang pertama yang menandatangani hal tersebut. 

Permasalah ‘aliran kepercayaan’ waktu itu sepakat disetujui jangan sampai menjurus kepada pembentukan agama baru dan kepada para pemeluknya dianjurkan untuk kembali pada induk agamanya masing-masing. Hasil pokok-pokok pemikiran tersebut diusulkan kepada Pemerintah. Buya Hamka memperlihatkan ketegasannya sebagai sosok tokoh muslim. Inilah ilmu kepemimpinan yang perlu dicontoh, yakni ketegasan. 

Kemudian, pada 31 Agustus 1979 Kiai Sjaichu memperingati milad atau hari ulang tahun (HUT) Ittihadul Muballighin, sebuah organisasi himpunan para pendakwah atau dai seluruh Indonesia yang didirikannya. Acara tersebut berlokasi di Aula Majelis Ulama Indonesia (MUI), kompleks Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta. Buya Hamka hadir dan memberikan ceramah yang amat berkesan di hati Kiai Sjaichu. 

“Jika orang menanyakan, siapa kawan Ittihadul Muballighin maka sayalah kawan Ittihadul Muballighin, dan saya akan membantu sepenuhnya bagi kemajuan perkembangan Ittihadul Muballighin di bawah kepemimpinan Pak Sjaichu,” tegas Buya Hamka.

Dalam milad Ittihadul Muballighin pada tahun berikutnya yang diperingati di Gedung Graha Purna Yudha Jakarta, Buya Hamka mengucapkan hal yang sama serta sikap dan teladannya juga nyata. Kiai Sjaichu mengakui bahwa Buya Hamka bukan hanya menyandang atribusi pimpinan Masjid Al-Azhar, Ketua Umum MUI, atau pimpinan Muhammadiyah tapi pimpinan umat Islam secara keseluruhan. 

Buya Hamka tidak memandang golongan atau aliran. Tidak heran jika banyak orang menaruh simpati dan kagum padanya, termasuk Kiai Sjaichu yang saat itu juga termasuk pimpinan di NU. Itulah jiwa kepemimpinan yang bisa diteladani dari Hamka, yakni tidak pernah membedakan ormas. Menjalin ukhuwah atau persaudaraan sesama muslim meskipun beda haluan. 

Jiwa kepemimpinan Hamka lainnya tampak saat dirinya diminta menjadi Imam Shalat Jenazah Bung Karno, Presiden pertama RI. Bung Karno pernah memenjarakan Buya Hamka namun Hamka tetap ikhlas dan mau menshalatkan jenazah alm. Bung Karno. Bagi Kiai Sjaichu, inilah manifestasi ajaran Islam, mendahulukan kasih sayang daripada benci, mengutamakan maaf daripada dendam kesumat. Hamka mampu menempatkan ruang di mana politik dan di mana kemanusiaan harus berperan. 

Analisis Kepemimpinan 

Lihat halaman berikutnya >>

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement