REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyinggung Partai Nasdem ketika memberikan contoh atas majas 'tidak ada kawan atau lawan abadi dalam politik, yang abadi hanya kepentingan'. Nasdem diketahui merupakan partai pendukung Pemerintahan Jokowi yang belakangan mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden.
Hal itu disampaikan Mahfud ketika menjadi pembicara dalam seminar nasional terkait pemilu dan media, yang digelar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di kampus universitas tersebut, Selasa (23/5/2023).
Mahfud awalnya mengatakan, politik pada dasarnya adalah ilmu yang mulia. Sebab, baik buruknya sebuah negara dan produk hukum, sangat bergantung kepada politik. Jika aktor politiknya buruk, maka produk hukum yang muncul juga akan buruk.
Meski politik bersifat mulia secara ilmu, tapi dalam praktik tak selalu demikian. Sebab, dalil utama dalam politik adalah kepentingan. Alhasil, kata dia, aktor politik di Indonesia kini melakukan berbagai cara demi kepentingannya atau mencapai tujuannya.
"Siapa mendapat apa dan dengan cara bagaimana, itu politik. Yang penting dapat. Saya siapa, saya harus dapat itu, caranya yang penting dapat. Itu praktiknya, bukan definisi. Kalau kita lihat sekarang apa yang terjadi di tengah-tengah kita, ya itulah," ujar Mahfud.
Dia melanjutkan, lantaran politik dalam praktiknya adalah pertarungan kepentingan, akhirnya terjadilah adu kekuatan. Di saat bersamaan, aktor politik juga berganti kawan maupun lawan demi mencapai tujuannya atau kepentingannya. Hal itu terjadi dalam dunia politik Indonesia, terutama jelang Pemilu 2024.
"(Dalam politik) tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang ada kepentingan yang abadi. Bisa saja suatu saat Ketua Partai Nasdem berkawan dengan ketua partai lain, tetapi ketika suatu saat kepentingannya berbeda, (dia) bermusuhan," ujar Mahfud.
Karena itu, Mahfud meminta masyarakat untuk tidak ikut bermusuhan ketika melihat elite politik bermusuhan. Sebab, bisa saja elite politik yang bermusuhan itu berkawan lagi karena punya kepentingan sama. Sedangkan masyarakat sudah terlanjur terpecah.
"Jangan ikuti permusuhan itu secara sungguh-sungguh, karena bisa saja dalam waktu dekat bersatu lagi, (tapi) yang di bawah terlanjur bermusuhan. Itu yang jadi masalah nantinya kalau diikuti," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Sebagai catatan, Partai Nasdem merupakan partai pengusung Presiden Jokowi pada Pemilu 2019 dan hingga sekarang masih tergabung dalam koalisi pemerintah. Namun demikian, Presiden Jokowi dan partai-partai koalisi dalam beberapa bulan terakhir kerap tak melibatkan partai besutan Surya Paloh itu dalam pertemuan koalisi. Pasalnya, Nasdem dianggap sudah menyeberang ketika mendukung Anies Baswedan sebagai capres untuk Pemilu 2024.