REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1912, Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan mendirikan Bagian Penolong Haji yang diketuai oleh KH M Sudjak. Bagian Penolong Haji adalah awal mula munculnya Direktorat Urusan Haji.
Pada 1922, Volksraad mengadakan perubahan dalam ordonasi haji yang dikenal dengan Pilgrim Ordonasi 1922. Sebagaimana diketahui, Volksraad diambil dari bahasa Belanda yang secara harafiah berarti "Dewan Rakyat."
Jadi Volksraad adalah semacam dewan perwakilan rakyat Hindia-Belanda. Dewan ini dibentuk pada 16 Desember 1918 oleh pemerintahan Hindia-Belanda
Dalam buku Manajemen Haji dan Umrah: Mengelola Perjalanan Tamu Allah ke Tanah Suci yang ditulis Drs H Noor Hamid diterbitkan Semesta Aksara, 2023. Dijelaskan bahwa Pilgrim Ordonasi menyebutkan, bangsa pribumi (Indonesia) dapat mengusahakan pengangkutan calon jamaah haji.
Beberapa ordonasi dikeluarkan Volksraad, antara lain Pilgrims Ordonnantie Staatsblad 1922 Nomor 698, Staatsblad 1927-Nomor 508, Staatsblad 1931 Nomor 44 tentang Pass Perjalanan Haji, dan Staatsblad 1947 Nomor 50 (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1960 Tentang Penyelenggaraan Urusan Haji).
Nahdlatul Ulama (NU) yang baru berdiri pada 1926 mengirimkan dua utusan, yaitu KH Abdul Wahab Hasbullah dan Syaikh Achmad Ghainaim al-Misri menghadap Raja Saudi, Ibnu Saud. Utusan NU tersebut menyampaikan keinginannya kepada Raja Saudi, Ibnu Saud agar menetapkan tarif haji yang berlaku pada syaikh-syaikh sehingga mereka tidak seenaknya menetapkan tarif sendiri. Permohonan dua utusan NU itu pun dikabulkan oleh Raja Saudi pada 1932.
Atas perjuangan anggota Volksroad, Wiwoho dan kawan-kawan, Pelgrims Ordonanntie 1922 dengan Staatsblad 1932 Nomor 544 mendapat perubahan pada artikel 22 dengan tambahan artikel 22a yang memberikan dasar hukum dan pemberian izin bagi organisasi bonafide bangsa Indonesia (umat Islam Indonesia) untuk mengadakan pelayaran haji dan Iainnya (perdagangan) (Rokhmad, 2017).
Pada 1930, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Minangkabau merekomendasikan untuk membangun pelayaran sendiri bagi jamaah haji Indonesia.
Pada 1947, Masyumi yang dipimpin oleh KH Hasjim Asy’ari mengeluarkan fatwa dalam Maklumat Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1947, yang menyatakan bahwa ibadah haji dihentikan selama dalam keadaan genting. (Sri Ilham Lubis, 2016)