REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menghormati Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan menerima gugatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Namun, putusan tersebut juga memiliki konsekuensi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK.
Komisi III sendiri saat ini tengah melakukan revisi UU MK, yang sudah dilakukan perubahan sebanyak tiga kali. Revisi terakhir terjadi pada 2020 dan sudah disahkan menjadi undang-undang oleh DPR pada Selasa (1/9/2020).
Adapun putusan MK terhadap masa jabat pimpinan KPK, dinilai Arsul akan juga berdampak dengan masa jabatan hakim MK, yang diatur dalam Pasal 87. Dalam pasal itu menjelaskan, seorang hakim MK bisa menjabat sampai dengan 15 tahun sepanjang usianya tidak melebihi 70 tahun.
Sedangkan dalam putusan MK tentang masa jabatan pimpinan KPK ini, MK menekankan prinsip-prinsip keadilan terkait dengan masa jabatan pada lembaga-lembaga negara independen yang dinilai constitutional importance. Secara tak langsung, MK mempertimbangkan masa jabatan pimpinan atau komisioner lembaga-lembaga negara semacam ini selama lima tahun.
Dengan berlandaskan asas keadilan itu, DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang akan dianggap melakukan penyalahgunaan kewenangan. Agar keduanya tak dianggap menyalahkan kewenangan, yang merupakan dampak putusan MK itu, tentu DPR secara tak langsung akan dipaksa melakukan revisi terhadap masa jabatan pejabat lembaga negara.
"Nah, agar prinsip keadilan dan kemudian tidak dinilai sebagai penyalahgunaan wewenang pembuat UU, maka DPR dan pemerintah yang saat ini sedang membahas RUU perubahan keempat UU MK juga harus menyesuaikan masa jabatan hakim MK ini, dengan mengembalikan kepada UU awalnya, yakni lima tahun," ujar Arsul saat dihubungi, Kamis (25/5/2023).
Berdasarkan UU 7/2020 yang merupakan revisi ketiganya, masa jabat hakim MK adalah maksimal 15 tahun. Sementara, pada UU MK yang pertama, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dijelaskan bahwa masa jabatan hakim konstitusi selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk lima tahun berikutnya.
Lalu, dalam rapat panitia kerja (Panja) revisi UU MK yang digelar tertutup pada Rabu (24/5/2023), pemerintah diklaim setuju agar masa jabat hakim MK diturunkan lima tahun, menjadi 10 tahun.
Namun sekali lagi, putusan MK terkait masa jabat pemimpin KPK akan membuat kegamangan dalam pembahasan revisi UU MK. Sebab, DPR tentu tak ingin dianggap menyalahgunakan kewenangan dengan menjadikan masa jabat hakim MK menjadi 10 tahun.
"Ini memerlukan koreksi UU MK agar konsisten dengan pertimbangan hukum dan prinsip keadilan bagi pejabat pimpinan lembaga negara independen yang diseleksi secara terbuka. Sebagaimana hakim MK dan komisioner lembaga-lembaga negara lainnya, seperti KPK, Komnas HAM, dan sebagainya," ujar Arsul.
Sebelumnya, anggota Komisi III Habiburokhman mewakili komisi hukum tersebut menjelaskan, ada empat alasan pihaknya kembali mengusulkan revisi UU MK. Pertama adalah persyaratan batas usia minimal hakim konstitusi.
"(Dua) evaluasi hakim konstitusi. Tiga, unsur keanggotaan majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi. Empat, penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi," ujar Habiburokhman dalam rapat kerja dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, Rabu (15/2).
Dalam perkembangannya, beberapa ketentuan UU MK diubah sebanyak tiga kali. Usulan terbaru Komisi III akan menjadi revisi keempat, karena UU MK saat ini dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.
"RUU ini merupakan perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, perubahan undang-undang ini dilatarbelakangi karena terdapat beberapa ketentuan yang dibatalkan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVII/2020 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022," ujar Habiburokhman.