REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Viral di Twitter soal pengakuan seorang guru bernama Iman Zanatul Haeri yang menceritakan kronologi pemerkosaan terhadap adiknya oleh seorang mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) berinisial ALW. Kuasa hukum korban, Muhammad Syarifain, menceritakan proses pendampingan terhadap korban.
“Setelah korban melapor, kami lakukan pendampingan. Kesimpulan kami adalah dugaan pemerkosaan. Namun, dalam penyidikan lanjutan, setelah pengumpulan data, penyidik meneruskan perkara ini pada UU ITE,” ujar Syarifain dalam keterangannya, Selasa (27/6/2023).
Dia menjelaskan, dari sana, kasus tersebut ditangani oleh Cyber Crime Polda Banten. Meski demikian, kuasa hukum menyayangkan kurangnya komunikasi dan tidak informatifnya pengadilan dan kejaksaan terhadap pihak korban. Menurut dia, pihaknya tidak mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara bahwa persidangan sudah dimulai sejak 16 Mei 2023.
“Tidak ada informasi perkembangan perkara bahwa persidangan sudah dimulai sejak tanggal 16 Mei 2023. Menurut kami ini sangat janggal,” ujar Syarifain.
Kuasa hukum korban lainnya, Rizki Arifianto, menjelaskan, pihaknya baru mendapatkan informasi mengenai persidangan tersebut ketika adanya sidang kedua. Menurut Rizki, pihak kuasa hukum korban tidak melihat dan tidak memiliki dakwaan. Ketika meminta dakwaan tersebut kepada jaksa penuntut, pihak tersebut malah menghindar.
“Belakangan kami baru tahu ternyata mereka tidak mengharapkan keberadaan pengacara untuk mendampingi korban sebagaimana pernyataan saudara korban di Twitter,” ujar Rizki.
Terkait hal tersebut, tim kuasa hukum korban merasa pernyataan jaksa patut disayangkan karena menghina profesi pengacara. Menurut Abda Oe Bismillahi, salah satu tim kuasa hukum korban, hak-hak korban harus didampingi oleh kuasa hukum. Dalam pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, korban berhak memperoleh perlindungan dan pendampingan hukum.
“Termasuk juga dalam penjelasan UU Nomor 18 Tahun 2023 tentang Advokat pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 68 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual. Menurut kami kejaksaan telah melakukan framing keliru jika menyatakan kepada korban agar tidak perlu didampingi pengacara,” ujar Abda.
Menurut dia, proses persidangan itu harus menemukan kebenaran materiil. Pengadilan Negeri Pandeglang pun harus berorientasi pada pemulihan hak korban dan mengedepankan perlindungan korban kekerasan seksual. Tapi, yang pihak kuasa hukum korban lihat justru sebaliknya. Persidangan berjalan dengan tidak transparan.
“Saat pemeriksaan saksi korban, video yang menjadi alat bukti utama tidak bisa ditayangkan dengan alasan laptop tidak support. Bayangkan, bagaimana majelis hakim bisa menilai bukti-bukti persidangan," ujar dia.
Keanehan-keanehan proses hukum...